jiwa menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah

I.       Pendahuluan
 Membahas  mengenai  filosof  muslim  kita akan menemukan banyak sekali tokoh yang memiliki pemikiran yang luar biasa serta memiliki peran besar dalam perkembangan pemikiran keilmuan Islam pada zamannya.
Tak terkecuali Ibnu Qayyim al-Jauziah, seorang ulama murid dari Ibnu Taimiyah yang juga seringkali dianggap sebagi seorang filosof tersebab keluasan ilmu pengetahuan yang dimilikinya serta orisinalitas pemikiran yang dimilikinya.
Ia banyak mengarang berbagai kitab yang membahas mengenai fiqih, ushul, ilmu kalam dan tasawuf, beberapa karyanya dalam bidang tasawuf adalah karya besar yang selalu menjadi referensi bagi para cendikiawan muslim yang berminat untuk mendalami bidang keilmuan jiwa atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan ilmu psikologi.
Disini kami akan mencoba untuk membeberkan sedikit mengenai pandangan dan pendapat jiwa menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah dengan harapan semoga kita bisa lebih mengenal khazanah keilmuan yang dimiliki oleh inteletual muslim hingga akhirnya bisa dimanfaatkan oleh ummat muslim untuk mengatasi problem sosial kehidupan ummat Islam. Hasil gambar untuk jiwa menurut ibnu qayyim











  II. Pembahasan

a. Biografi
Ibnu Qayyim al-Jauziyah bernama asli Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Saad bin Huraiz Az-Zar’i Ad-Dimasyqi dengan laqab atau panggilan Abu Abdullah. Ia dilahirkan di Damaskus pada tahun 691 Hijriah atau 1292 Masehi dan berasal dari sebuah keluarga terhormat yang berilmu dan berharta. Ayahnya adalah pendiri kampung al-Jauziyah sekaligus kepala madrasah al-Jauziyah serta guru di sekolah ash-Shadariyah.
Ibnu Qayyim adalah salah seorang tokoh reformis Islam. Para ulama mengakuinya sebagai orang kaya dan berilmu. Dia berminat pada bidang hadis, fiqih, syariat, ilmu kalam, tasawuf, bahasa arab dan nahwu. Ibnu Qayyim merupakan murid Ibnu Taimiyah. Dialah juga orang yang mengajarkan buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan menyebarkan pendapatnya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah pernah mengalami musibah seperti yang dialami gurunya, Ibnu Taimiyah. Mereka sama-sama di penjara di benteng Damaskus. Dia memanfaatkan masa-masa di penjara dengan beribadah, membaca Alquran, dengan merenung dan berpikir.
Ibnu Qayyim adalah seorang yang berakhlak baik dan disayang oleh banyak orang. Kepribadiannya sangat berbeda dengan Ibnu Taimiyah. Sang guru seorang yang emosional, keras kepala dan suka melabrak, sementara Ibnu Qayyim seorang yang tenang, berjiwa stabil dan cenderung untuk berdialog dan memberikan pemuasan rasional kepada orang lain.
Tujuan terpenting Ibnu Qayyim al-Jauziyah adalah seruan untuk kembali ke mazhab salaf yang mencerminkan Islam sebagai agama yang bebas dari berbagai pendapat yang menyimpang. Meski begitu, dia sangat memperhatikan prinsip kebebasan berpikir, menentang taklid buta, mengajak semua orang agar memahami spirit syariat, dan menyerukan ijitihad.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah meninggal dunia pada tahun 751 Hijriah atau 1350 Masehi dalam usia hampir 60 tahun[1].
b. Jiwa, Ruh dan Badan
Menurut Ibnu Qayyim nafs biasanya disifatkan kepada tiga macam makna, yang pertama nafs dalam artian jiwa, yang kedua nafs yang berarti darah sebagaimana ungkapan orang “ Salat nafsuhu” artinya mengalir darahnya, dan ketiga nafs yang berarti badan.
Ibnu Qayyim sendiri menggunakan istilah ruh dan nafs (jiwa) untuk pengertian yang sama. Menurutnya itulah pendapat jumhur ulama. Dia memaparkan pendapat ulama terdahulu tentang hakikat jiwa dengan menyebutkan bahwa diantara mereka ada yang berpendapat; bahwa; pertama jiwa adalah tubuh, kedua bahwa jiwa adalah substansi, ketiga jiwa tak lain berasal dari empat unsur alam, yaitu panas, dingin, kering, dan basah, keempat bahwa jiwa memiliki unsur lain diluar unsur yang empat, kelima jiwa adalah darah bening dan bersih dari kotoran, keenam jiwa adalah angin halus yang masuk dan keluar melalui proses pernapasan, ketujuh bahwa jiwa bukanlah badan bukan pula substansi. Jiwa tidak memiliki ruang, panjang, lebar, kedalaman, warna, dan bagian, jiwa tidak berada di dalam alam, di luar alam, disamping alam, ataupun di alam yang lain, kedelapan jiwa adalah substansi yang memiliki panjang, lebar, kedalaman dan ruang.
Meski banyak ulama dan filosof muslim yang membedakan antara ruh dan jiwa, namun menurut Ibnu Qayyim bahwasanya jiwa dan ruh adalah dzat yang sama, jiwa adalah  sebuah dzat yang ada dan substansial, hanya berbeda dalam pensifatannya saja, jika ruh disifatkan dengan kehidupan badan, maka jiwa disifatkan dengan kemulian badan karena kemampuannya untuk bergerak dan melakukan berbagai hal yang tidak akan mampu dilakukan badan jika tanpa keberadaan jiwa atau ruh[2].
Menurut Ibnu Qayyim manusia adalah makhluk Allah yang diberi berbagai kemuliaan antara lain; Pertama, bahwa manusia dimuliakan dengan akal ilmu pengetahuan pemahaman keterangan dan berbicara. Kedua, bahwa manusia diberi keistimewaan yaitu memiliki rasa malu. Ketiga, manusia diberi keistimewaan dengan keterangan yaitu yang dibaca (al-Quran) dan dilihat (alam raya). Keempat, manusia memiliki kemampuan untuk belajar karena telah diberikan kepadanya sarana untuk belajar. Kelima, manusia memiliki keistimewaan dengan memiliki kecenderungan dan tabiat yang dapat membantunya dalam melaksanakan kemaslahatan-kemaslahatannya. Ketujuh, manusia memiliki kekuatan, syahwat dan kemaluan. Kedelapan, manusia memiliki keistimewaan dalam hal bentuk dan rupanya manusia adalah satu unit yang tidak terpisah antara jiwa akal dan jasmani[3].
Beberapa ulama mengatakan bahwa anak Adam memiliki tiga jiwa, yaitu nafs mutmainnah, nafs lawwamah, dan nafs ammarah. Tetapi yang pasti jiwa adalah satu, namun ia memiliki beberapa sifat yang dengannya disesuaikan dengan kebiasaan jiwa tersebut tukas Ibnu Qayyim.
Mengenai status dan keberadaan ruh Ibnu Qayyim mengatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat dikalangan orang muslim Ahlul-Jama`ah wa Al-Atsar bahwa ruh pada diri adam, anak keturunannya, Isa dan siapapun, semuanya adalah mahkluk Allah yang diciptakan, disempurnakan, diadakan, dibentuk, lalu dikaitkan dengan Diri-Nya, sebagaimana Dia juga mengaitkan semua makhluk kepada Diri-Nya[4].
Badan anak cucu adam diciptakan dari tanah dan ruhnya dari penguasa alam semesta. Kemudian keduannya disatukan, jika badannya merasa lapar, sering bangun malam, menjalankan pengabdian, maka ruhnya akan terlihat segar bugar dan sehat, sehingga seakan0akan ia berada ditempat asalnya yang mulia. Sementara jika badan selalu dalam keadaan kenyang, nikmat tidur dan beristirahat, maka badan akan tetap berada pada tempat asal penciptaan, sementara ruhnya bagai dalam penjara.
Dengan demikian jika badan itu ringan, ruh akan menjadi lembut dan ringan untuk kembali kepada habitat aslinya yang mulia. Sedangkan jika badan itu berat dan senantiasa menuruti nafsu syahwatnya, maka ruh pun akan menjadi berat dan turun dari alam aslinya sehingga menjadi hina[5].

c.  Hati dan Akal
Ibnu Qayyim membagi hati kepada tiga macam tipe; hati yang sehat, hati yang sakit dan hati yang mati.
Pertama hati yang sehat yaitu hati yang bersih yang seorangpun tidak akan bisa selamat tanpanya sebagaimana firman Allah:  
tPöqtƒ Ÿw ßìxÿZtƒ ×A$tB Ÿwur tbqãZt/ ÇÑÑÈ   žwÃŽ) ô`tB tAr& ©!$# 5=ù=s)ÃŽ/ 5OŠÃŽ=y ÇÑÒÈ  
(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,(Asy-Syuara; 88-89.)

Kedua Tipe hati yang kedua adalah hati yang hidup tetapi cacat. Ia memiliki dua materi yang saling tarik menarik antara kecintaan kepada Allah keimanan dan keikhlasan dengan cinta kepada nafsu keinginan dan usaha untuk mendapatkannya, disertai dengki takabbur dan bangga diri
Ketiga Tipe hati yang ketiga adalah hati yang mati yang tidak ada kehidupan didalamnya. Ia tidak mengetahui tuhannya tidak menyembahnya, bahkan selalu menuruti keinginan hawa nafsu dan kelezatan dirinya, inilah hati orang yang kufur.[6].
Hati adalah wadah atau tempat pengaruh mempengaruhi dalam kaitan dengan khyusu keterpengaruhan hati oleh khusyu tidak sempurna kecuali dengan berpadunya penyerta khusyu dan hal ihwal yang menjadi bagian darinya. Ibnu Qayyim berkata : “sebenarnya khusyu itu adalah sebuah makna yang tersarikan dari sikap hormat, cinta, rendah hati, dan pasrah hati”:[7].
“Sesungguhnya jika nafsu meluas maka hati akan menyempit sehingga kehidupan menjadi sempit, namun sebaliknya, jika hawa nafsu menyempit maka hati akan menjadi lapang dan luas dan kehidupan akan berbahagia” katanya lagi[8].
Akal adalah timbangan setiap ilmu untuk mengetahui yang benar dan yang salah. Akal terbagi dua yaitu akal instink yang merupakan pemelihara dan penghasil ilmu. Kedua akal muktasab dan mustafad yang merupakan hasil ilmu. Jika kedua akal tersebut menyatu maka itu adalah keutamaan dan kebahagiaan.
Ibnu Qayyim juga membagi akal menjadi akal ilmiah (teoritis) dan akal praktis sebagaimana al-Farabi dan Ibnu Sina.
d. Cinta
Ibnu Qayyim menyebutkan pembagian jiwa menurut kaum filosof menjadi tiga kelompok dan tiga jenis cinta pada masing-masing kelompok, yaitu :
1. Jiwa langit yang luhur (nafs samawiyah `alawiyah); dan cintanya tertuju pada ilmu pengetahuan, perolehan keutamaan dan kesempurnaan yang memungkinkan bagi manusia, dan usaha menjauhi kehinaan.
2. Jiwa buas yang penuh angkara murka (nafs sab`iyah ghadabiyah); dan cintanya tertuju pada pemaksaan, tirani, keangkuhan dibumi, kesombongan, dan kepemimpinan atas manusia dengan cara yang bathil.
3. Jiwa kebinatangan yang penuh syahwat (nafs hayawaniyah syahawaniah) dan cintanya tertuju pada makanan, minuman, dan kawin[9].
Ibnu Qayyim membahas emosi cinta dengan menyebutkan; adanya pengangungan di dalam hati yang mencegahnya untuk tunduk kepada selain yang dicintai, mengedepankan yang dicintai atas yang lain, dan selalu sependapat dengan yang dicintai. Menurut Ibnu Qayyim cinta adalah kecenderungan, ketergantungan, ketenangan, tertujunya hati dan kesibukannya kepada yang dicintai sehingga tidak ada ruang kosong untuk orang lain.
Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya cinta ada tiga hal. Pertama, faktor yang ada pada yang dicintai berupa kecantikan dan sifat-sifatnya yang mendorong orang untuk mencintainya. Kedua, faktor yang ada pada yang mencintai, yaitu perasaan terhadap kecantikan dan sifat-sifat tersebut. Ketiga, hubungan antara yang mencintai dan yang dicintai, yaitu kesesuaian dan kecocokan jiwa, inilah faktor terkuat dari cinta. Jika ketiga hal itu kuat, maka cinta juga akan kuat dan kokoh; tetapi jika ketiga hal itu atau salah satunya lemah, maka cinta akan melemah sebagai akibatnya.
Kesesuaian atau kecocokan antara yang mencintai dan yang dicintai adalah kecocokan akhlak, kesamaan ruh, dan kerinduan setiap jiwa terhadap jiwa lain yang sama. Jika ada yang mirip dengannya, maka secara otomatis ia akan tertarik kepadanya, sehingga kedua jiwa menyatu dalam perilaku, lalu masing-masing secara otomatis akan saling tertarik. Oleh karena itu, ada pendapat yang mengatakan, “sesungguhnya asmara adalah kesamaan dan perpaduan jiwa dalam tabiat kemakhlukan.”
Jika sebab cinta adalah kecocokan antara ruh yang mencintai dan yang dicintai, maka cinta semakin kokoh dan abadi. Sedangkan jika penyebabnya bukan kecocokan dan kesamaan, tetapi karena tujuan tertentu, maka cintanya akan habis ketika tujuan habis.
Selagi cinta semakin kuat, maka kenikmatan memandang orang yang dicintai juga semakin kuat, bibit-bibit cinta  dan sebabnya adalah bersifat inisiatif, beredar dibawah kewajiban yang dibebankan untuk menjaganya, pandangan lintasan, pikiran dan kehendak untuk mencinta adalah urusan yang bersifat inisiatif. Memang jika ada sebab maka ada akibat yang terjadi kemudian bukan lagi merupakan inisiatif karena cinta itu buta dan mampu menundukkan jiwa dan menawan hati seseorang[10].

e. Ilmu dan Kebahagiaan
Ilmu merupakan kehidupan dan cahaya, sedangkan kebodohan merupakan kematian dan kegelapan, semua keburukan disebutkan tidak adanya kehidupan dan cahaya. Semua kebaikan disebabkan oleh kehidupan dan cahaya, cahaya bisa menyingkap berbagai hal dan menjelaskan tingkatan-tingkatannya. Sedangkan kehidupan  berperan membenarkan sifat-sifat kesempurnaan untuk meluruskan perbuatan dan perkataan.  Didalam surah an-Nur disebutkan cahaya diatas cahaya artinya cahaya iman diatas cahaya al-Qur`an dan iman merupakan cahaya yang dimasukkan Allah kedalam hati hamba-Nya yang dikehendaki-Nya[11]
Semua yang hidup selain Allah semua membutuhkan sesuatu yang mendatangkan manfaat baginya dan menolak apa saja yang membahayakan dirinya. Hal ini tidak mungkin terealisir kecuali ia mempunyai wawasan tentang sesuatu yang bermanfaat baginya dan yang membahayakan dirinya. Manfaat adalah kenikmatan dan kelezatan, sedangkan bahaya adalah sakit dan siksa.
Hanya Allah SWT yang wajib dijadikan tujuan akhir dan tempat mengarahkan doa. Tidak ada kebahagiaan bagi hati kecuali dengan menjadikan Allah sebagai tuhannya, tujuan akhirnya dan sesuatu yang dicintainya.[12].
  III. Kesimpulan
  Ibnu Qayyim al-Jauziah adalah seorang ulama sekaligus filosof muslim yang mengilhami banyak ulama sesudahnya. Ia memiliki banyak karangan khsusnya dibidang fiqih, ushul, tasawuf, ilmu kalam, sirah (biografi) dan sejarah. Dia seorang yang berwawasan luas dan mencintai semua ilmu yang terkenal pada saat hidupnya.
  Adapun karangannya yang berkaitan dengan psikologi adalah; Ar-Ruh, Tuhfat al-Maudud bi Ahkam al-Maudud, Miftah Dar as-Sa`adah, Raudhat al-Muhibbin wa Nuzhat al-Musytaqin, Thariq al-Hiratain  wa Bab as-Sa`adatain dan Risalah Fi Amradh al-Qulub.


[1] Muhammad Ustman Najati; Jiwa Dalam Pandangan Filosof Muslim; Pustaka Hidayah; Bandung; 1993; Hal. 27.
[2] Ibnu Qayyim al-Jauziah;  Ruh li Ibnil Qayyim; Terjemahan Oleh Kathur Suhardi; Pustaka al-Kautsar; Jakarta; 2000. Hal. 310.
[3] Ibnu Qayyim al-Jauziah; Ta`ammulat Ibnul Qayyim fiil Anfus wal Aafaq; Terjemah Oleh Anas Abdul Hamid al-Quz;; Pustaka Azzam; Jakarta; 2001. Hal.21.
[4] Ibnu Qayyim al-Jauziah;  Ruh li Ibnil Qayyim; Hal. 338
[5] Ibnu Qayyim al-Jauziah; Al-Fawaid, Menuju Pribadi Takwa; Terjemah Oleh Munirul Abidin; Pustaka Al-Kautsar; Jakarta; 2000; hal. 189.
[6] Ibnu Qayyim al-Jauziah; Managemen Qalbu, Melumpuhkan Senjata Syetan; Darul Falah; Jakarta; 2008; Hal. 1-5.
[7] Ibnu Qayyim al-Jauziah; Sepuluh Kekasih Allah; Terjemah Oleh Abdul Aziz Musthafa; Pustaka Azaam; Jakarta; 2000; Hal. 118.
[8] Ibnu Qayyim al-Jauziah; Al-Fawaid, Menuju Pribadi Takwa; hal. 189.
[9] Muhammad Ustman Najati; Jiwa Dalam Pandangan Filosof Muslim; Hal. 27.
[10] Ibnu Qayyim al-Jauziah; Taman-Orang-Orang yang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu; Terjemah Oleh Kathur Suhardi; Darul Falah; Jakarta; 2000; Hal.111.
[11] Ibnu Qayyim al-Jauziah; Kunci Gerbang Kebahagiaan; Terjemah Oleh Kathur Suhardi; Pustaka Al-Kaustar; Jakarta; 2000; Hal.49.
[12] Ibnu Qayyim al-Jauziah; Keajaiban Hati; Terjemah Oleh Fadhli Bahri; Pustaka Azzam; Jakarta; 2000; hal. 46













Theme images by loops7. Powered by Blogger.