Kesehatan Mental

Berbagai tingkah laku masyarakat yang beraneka ragam mendorong para ahli ilmu jiwa untuk menyelidiki apa penyebab perbedaan tingkah laku orang-orang dalam kehidupan bermasyarakat sekalipun dalam kondisi yang sama. Selain itu, juga menyelidiki penyebab seseorang tidak mampu mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Usaha ini kemudian menimbulkan satu cabang ilmu jiwa yaitu kesehatan mental.
Dengan memahami ilmu kesehatan mental dalam arti mengerti, mau, dan mampu mengaktualisasikan dirinya, maka seseorang tidak akan mengalami bermacam-macam ketegangan, ketakutan, konflik batin. Selain itu, ia melakukan upaya agar jiwanya menjadi seimbang dan kepribadiannya pun terintegrasi dengan baik. Ia juga akan mampu memecahkan segala permasalahan hidup[1].
Kematangan dan kesehatan mental berhubungan erat antara satu sama lainnya dan saling tergantung. Apabila kita bicara tentang keduanya secara terpisah maka hanya sekadar untuk memudahkan penganalisaannya. Karena sangat sulit untuk membanyangkan seseorang yang matang dari segi sosial dan tidak matang dari segi kejiwaan.
Orang yang matang bukanlah orang yang telah sampai kepada ukuran tertentu dari perkembangan, kemudian berhenti sampai disitu. Akan tetapi ia adalah orang yang selalu dalam keadaan matang. Artinya orang yang selalu bertambah kuat dan subur hubungannya dengan kehidupan. Karena sikapnya mendorongnya untuk tumbuh, bukan berhenti dari pertumbuhan. Oleh karena itu seorang yang matang, bukanlah orang yang mengetahui sejumlah besar fakta akan tetapi orang yang matang adalah orang yang kebiasaan-kebiasaan mentalnya membantunya untuk mengembangkan pengetahuannya dan mengunakannya dengan bijaksana[2].
Terdapat beberapa istilah kesehatan mental dalam Al-Qur`an dan Hadits seperti najat (keselamatan) fawz (keberuntungan), falah (kemakmuran), dan sa`adah (kebahagiaan) berikut dengan berbagai akar katanya. Bentuk kebahagiaannya atau kesehatan mental meliputi yang berlaku di dunia ini dan yang berlaku dalam kehidupan akhirat. Yang pertama berarti selamat dari hal yang mengancam kehidupan dunia ini. Sedang yang kedua selain dari pada selamat dari kecelakaan dan siksa, juga menerima ganjaran dan kebahagiaan.

II.                Pembahasan

a.      Pengertian Kesehatan Mental Menurut Barat
Kesehatan mental sebagai salah satu cabang ilmu jiwa sudah dikenal sejak abad ke-19, seperti di Jerman tahun 1875 M, orang sudah mengenal kesehatan mental sebagai suatu ilmu walupun dalam bentuk sedarhana.
Istilah “Kesehatan Jiwa(mental)” telah menjadi populer di kalangan orang-orang terpelajar, seperti istilah-istilah ilmu jiwa lainnya; misalnya kompleks jiwa, sakit saraf dan hysteria; banyak diantara mereka menggunakan kata-kata tersebut baik pada tempatnya atau tidak dalam pengertian yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah dan istilah-istilah tersebut.[3]
Apabila ditinjau dari etimologi, kata mental berasal dari kata latin mens atau mentis yang berarti roh, sukma, jiwa atau nyawa.
Ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan jiwa/ mental yang bertujuan mencegah timbulnya gangguan atau penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental serta memajukan kesehatan jiwa rakyat.
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala jiwa (neurose) dan gejala penyakit jiwa (psikose). Jadi menurut definisi ini, seseorang dikatakan bermental sehat bila orang yang terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa yaitu adanya perasaan cemas tanpa diketahui sebabnya. Malas dan hilangnya kegairahan bekerja pada seseorang. Bila gejala ini meningkat maka akan menyebabkan penyakit anxiety, neurasthenis, atau hysteria dan sebagainya. Adapun orang sakit jiwa biasanya memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan orang pada umumnya. Inilah yang kita kenal dengan orang gila.
Kesehatan mental (mental bygiene) juga meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan  serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tenteram.[4]


b.      Pengertian Kesehatan Mental Menurut Islam
Pandangan islam tentang manusia dan kesehatan mental, berbeda dangan aliran-aliran psikologi yang empat. Manusia dalam pandangan Islam diciptakan oleh Allah dengan tujuan tertantu:
a.       Menjadi hamba Allah (abd Allah) yang tugasnya mengabdi kepada Allah SWT.
b.      Menjadi khalifah Allah fi al-Ardh yang tugasnya mengolah alam dan memanfaatkannya untuk kepetingan makhluk dalam rangka Ubudiyah kepada-Nya.
Agar tujuan tersebut dapat dicapai manusia dilengkapi dengan berbagai potensi yang harus dikembangan dan dimanfaatkan sesuai dengan aturan Allah. Oleh karena itu kesehatan mental dalam pandangan islam adalah pengembangan dan pemanfaatan potensi-potensi tersebut semaksimal mungkin, dengan niat ikhlas beribadah hanya kepada Allah. Dengan demikian orang yang sehat mentalnya, adalah orang yang mengembangkan dan memanfaatkan seganap potensinya seoptimal mungkin melalui jalan yang diridhai Allah, dengan motif beribadah kepada-Nya.
Dari keempat aliran psikologi semuanya mendasarkan teoti kesehatan mentalnya hanya pada konsep dasar manusia yang sebenarnya belum utuh. Kekurangutuhan itu akan tampak bila diteliti dengan seksama, ternyata keempat aliran tersebut membicarakan konsep kepribadian manusia, namun belum menyinggung bagaimana kaitannya dengan Sang Pencipta. Oleh karena itu orang kesulitan untuk menjawab bagaimana sebanarnya tentang konsep jiwa/mental yang sehat, tampaknya sulit ditentukan jawaban yang tuntas. Masing-masing aliran belum mampu mengembangkan seluruh potensi manusia, sehingga aliran humanistik dan transpersonal yang kajiannya lebih sempurna mengenai manusiapun ternyata masih belum sempurna menurut Islam.[5]
Menurut pandangan Islam orang sehat mentalnya ialah orang yang berprilaku, pikiran, dan perasaannya mencerminkan dan sesuai dengan ajaran Islam. Ini berarti, orang yang sehat mentalnya ialah orang yang didalam dirinya terdapat keterpaduan antara perilaku, perasaan, pikiranya dan jiwa keberagamaannya. Dengan demikian, tampaknya sulit diciptakan kondisi kesehatan mental dangan tanpa agama. Bahkan dalam hal ini Malik B. Badri berdasarkan  pengamatanya berpendapat, keyakinan seseorang terhadap Islam sangat berperan dalam membebaskan jiwa dari gangguan dan penyakit kejiwaan. Disinilah peran penting Islam dalam membina kesehatan mental.[6] Zakiah Daradjat merumuskan pengertian kesehatan mental dalam pengertian yang luas dengan memasukkan aspek agama didalamnya seperti berikut:
Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan yang terciptanya penyusuai diri antara manusia dangan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan di akhirat.
Di dalam buku Prof. Dr. Mustafa Fahmi pengertian kesehatan jiwa (mental) ada dua, yaitu: pertama, kesehatan jiwa adalah bebas dari gejala-gejala penyakit jiwa dan gangguan kejiwaan. Kedua, kesehatan jiwa adalah dengan cara aktif, luas, lengkap tidak terbatas, ia berhubungan dengan kemampuan orang yang menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakat lingkungannya, hal itu membawanya kepada kehidupan yang sunyi dari kegoncangan, penuh vitalitas.[7]

c.       Tanda Kesehatan Mental Menurut Barat
Menurut Marie Jahoda pengertia kesehatan mental tidak hanya terbatas kepada absennya seseorang dari ganguan dan penyakit jiwa, tetapi orang yang sehat mentalnya, juga memiliki sifat atau karakteristik utama sebagai berikut:
1)      Memiliki sikap kepribadian terhadap diri sendiri dalam arti ia mengenal dirinya dengan sebaik-baiknya.
2)      Memiliki pertumbuhan, perkembangan dan perwujudan diri.
3)      Memiliki integrasi diri yang meliputi keseimbangan jiwa kesatuan pandangan dan tahap terhadap tekanan-tekanan kejiwaan yang terjadi.
4)      Memiliki otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam ataupun kelakuan-kelakuan bebas.
5)      Memiliki persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, dan penciptaan empati serta kepekaan sosial.
6)      Memiliki kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya.[8]

d.      Tanda Kesehatan Mental Dalam Islam
Dalam pengertian yang amat sederhana mental itu sudah dikenal sejak manusia pertama  (Adam), karena Adam as merasa berdosa yang menyebabkan jiwanya gelisah dan hatinya sedih. Untuk menghilangkan kegelisahan dan kesedihan tersebut, ia bertaubat kepada Allah dan taubatnya diterima serta merasa lega kembali. Musthafa Fahmi, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Mahmud, menemukaan dua pola dalam kesehatan mental:
Pertama, pola negatif (salabiy), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala neurosis (al-amarah al-ashabiyah) dan psikosis (al-amaradh al-dzibaniyah).
Kedua, pola positif (ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan sosialnya. Pola yang kedua ini lebih umum dan lebih luas dibandingkan dengan pola pertama.[9]
e.       Indikator Kesehatan Mental Dalam Islam
1.      Indikator Kesehatan Mental Menurut Said Hawa
Said Hawa menetapkan indikator kesehatan mental berdasarkan tathhiral-qalh (penyucian jiwa) dengan indikatornya sebagai berikut:
a)      Sempurna dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan perintah Allah SWT.
b)      Terlihat efek dari peribadatanya pada sifat-sifatnya yang utama dan akhlak-al-karimah dan melaksanakan habl in Allah dan habl min al-nas.
c)      Mempunyai hati yang mantap dalam mentauhidkan Allah SWT.
d)     Tidak mempunyai penyakit hati, yang bertentangan dengan keesaan Allah SWT.
e)      Jiwa menjadi suci, hatinya menjadi suci, dan pandangannya menjadi jernih.
f)       Seluruh anggota badannya senantiasa berbuat sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.
2.      Indikator Kesehatan Mental Menurut Ahmad Farid
Ahmad Farid enetapkan indikator Kesehatan Mental berdasarkan kepada agama sebagai berikut:
a)      Berfokus pada akhirat
b)      Tiada meninggalkan zikrullah
c)      Selalu merindukan untuk beribadah kepada Allah
d)     Tujuan hidupnya hanya Kepada Allah
e)      Kyusu’ dalam menegakkan shalat dan saat itu ia lupa akan segala urusan dunia
f)       Menghargai waktu dan tidak bakhil harta
g)      Tidak berputus asa dan tidak malas untuk berzikir
h)      Mengutamakan kualitas perbuatan
3.      Indikator Kesehatan Mental Menurut Zakiah Daradjat.
Zakiah Daradjat menetapkan indikator kesehatan mental dengan memasukkan unsur keimanan dan ketaqwaan, sebagai berikut:
a)      Terbebas dari gangguan dan penyakit jiwa
b)      Terwujudnya keserasian antara unsur-unsur kejiwaan
c)      Mempunyai kemampuan dalam menyesuaikan diri secara fleksibel dan menciptakan hubungan yang bermanfaat dan menyenangkan antar individu
d)     Mempunyai kemampuan dalam mengembangkan potensi yang dimiliknya serta memanfaatkannya untuk dirinya dan orang lain
e)      Beriman dan bertakwa kepada Allah dan selalu berupaya merealisasikan tercipta kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.
4.      Indikator Kesehatan Mental Menurut Al-Ghazali didasarkan kepada seluruh aspek kehidupan manusia baik habl min Allah, habl min al-nas, dan habl min al-alam. Menurutnya ada tiga indikator yang menantukan kesehatan mental seseorang yaitu:
a)      Keseimbangan yang terus menerus antara jesmani dan rohani dalam, kehidupan manusia.
b)      Memiliki kemuliaan akhlak dan kezakiyahan jiwa, atau memiliki kualitas iman dan takwa yang tinggal
c)      Memiliki makrifat tauhid kepada Allah
f.       Keabnormalan Mental Dalam Islam
Menurut Zakiah Daradjat, keabnormalan mental adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan psikis. Keabnormalan tersebut tidak disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-bagian anggota badan meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat pada fisik. Keabnormalan dapat dibagi atas dua bagian, yaitu (1) gangguan mental (jiwa/neurose), dan (2) sakit mental (jiwa/psychose).
Dalam perspektif Islam sehat atau tidaknya mental seseorang berpijak pada aspek spiritualitas keagamaan. Seberapa jauh keimanan seseorang yang tercermin dalam kehidupan keberagamaan dalam kesehariannya menjadi titik tolak penting dalam menantukan sehat atau tidaknya mental seseorang. Dalam perspektif Islam gangguan dan tidak sakit mental tidak hanya diukur dengan ukuran humanistik saja, sebagaimana diikut oleh semua aliran psikologi kontemporer. Akan tetapi Islam juga melihat bagaimana kaitannya dengan iman dan akhlak.
Al-Ghazali memandang bahwa keabnormalan mental indetik dengan akhlak yang buruk. Akhlak yang baik dikategorikan sebagai sifat para rasul Allah, perbuatan para al-Shiddiqin paling utama. Sedangkan akhlak yang buruk dinyatakan sebagai racun yang berbisa yang dapat membunuh, atau kotoran yang bisa menjauhkan seseorang dari Allah SWT. Disamping itu akhlak yang buruk juga termasuk ke dalam langkah setan yang bisa menjerumuskan manusia masuk dalam perangkapnya.
Gangguan mental dalam Islam berkaitan dengan penyimpanan-penyimpangan sikap batin. Inilah yang menjadi dasar dan awal dari semua pendarita batin. Ada aspek penting yang menjadi ciri-ciri gangguan mental menurut islam yaitu qalb dan af’al (hati dan perbuatan). Gejala-gejala gangguan mental semacam ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)      Hati yang menyimpang dari keikhlasan dan ketundukan kepada Allah sehingga menjadi lupa terhadap posisinya sebagai hamba Allah. Wujud dari penyimpangan  ini bisa dalam bentuk ria, hasad, ujub, takabur, tamak dan sebagainya.
2)      Perilaku yang terbiasa dengan pelanggaran ajaran agama disebabkan oleh dominannya peran nafs al-ammarah dalam kehidupan.
g.      Cara Memelihara Kesehatan Mental Menurut Islam
Dalam literatur yang berkembang ada beberapa cara untuk memelihara kesehatan mental dalam Islam salah satunya adalah pola atau metode Iman Islam Dan Ihsan yang didalamnya terdapat berbagai macam karakter berdasarkan konsep Iman Islam Dan Ihsan.[10]
1.      Iman
Didalam metode iman terdapat beberapa macam pola karakter. Pertama, karakter rabbani yang berasal dari kata rabb  yang dalam bahasa Indonesia berarti tuhan, yaitu tuhan yang memiliki, memperbaiki, mengatur. Istilah rabbani dalam konteks ini memiliki ekuivalensi dengan  mentransformasikan asma dan sifat tuhan kedalam dirinya untuk kemudian diinternalisasikan dengan kehidupan nyata.
Kedua, karakter malaki adalah kepribadian individu yang didapat setelah mentransformasikan sifat-sifat malaikat kedalam dirinya untuk kemudian di internalisasikan kedalam kehidupan nyata.
Ketiga, karakter Qurani yang pada intinya kepribadian qurani adalah kepribadian yang melaksanakan sepenuh hati nilai-nilai al-Qur`an baik pada dimensi I`tiqadiyah, Khulukqiyah, amaliyah, ibadah, muamalah, daruriyyah, hajiyyah, ataupun tahsiniyah,
Keempat, karakter rasuli yang. mengarah pada sifat-sifat khas seorang rasul sebagai manusi pilihan (Al-Musthafa) berupa sifat Jujur, Terpercaya, Menyampaikan perintah dan cerdas.
Kelima, Karakter yawm akhiri adalah kepribadian individu yang didapat sesudah mengimani, mamhami dan mempersiapkan diri untuk memasuki hari akhir dimana seluruh perilaku manusia dimintai pertanggungjawaban. Kepribadian ini menuju kepada salah satu konsekwensi perilaku manusia, dimana yang amalnya baik akan mendapatkan kenikmatan syurga sementara bagi yang amalnya buruk akan mendapatkan kesengsaraan neraka.
Keenam, karakter taqdiri,  Pola-pola tingkah laku taqdiri antara lain; pertama, bertingkah laku berdasarkan aturan dan hukum tuhan, sehingga tidak semena-mena memperturutkan hawa nafsu. Kedua, membangun jiwa optimis dalam mencapai sesuatu tujuan hidup. Tidak sombong ketika mendapatkan kesuksesan hidup. Tidak pesimis, stress atau depresi ketika mendapatkan kegagalan.
2.      Islam
Didalam metode Islam terdapat beberapa macam pola karakter. Pertama, kepribadian syahadatain adalah kepribadian individu yang didapat setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, memahami hakikat dari ucapannya serta menyadari akan segala konsekwensi persaksiannya tersebut. Kepribadian syahadatain meliputi domanin kognitif dengan pengucapan dua kalimat secara verbal; domain afektif dengan kesadaran hati yang tulus; dan domain psikomotorik dengan melakukan segala perbuatan sebagai konsekwensi dari persaksiannya itu.
Kedua, karakter mushalli adalah kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan shalat dengan baik, konsisten, tertib, dan khusyu, sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang dikerjakan.
Ketiga, karakter shaim adalah kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan ketakwaan, sehingga ia dapat mengendalikan diri dengan baik. Pengertian ini didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mampu menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa memiliki kepribadian lebih kokoh, tahan uji, dan stabil ketimbang orang yang tidak mengerjakannya, sebab ia mendapatkan hikmah dari perbuatannya.
Keempat, karakter muzakki adalah pribadi yang suci, fitrah dan tanpa dosa. Ia memilki kepribadian yang seimbang, mampu menyelaraskan antara aktifitas yang berdimensi vertikal dan horizontal. Ia adalah sosok yang empatik terhadap penderitaan pribadi lain.
Kelima, karakter haji adalah orang yang telah melakukan ibadah haji yang secara etimologi berarti menyengaja pada sesuatu yang diagungkan. Orang yang melaksanakan haji hatinya selalu tertuju pada yang maha tinggi. Orang yang berhaji memiliki beberapa kepribadian antara lain : kepribadian muhrim, kepribadian thawif, kepribadian waqif, kepribadian sa`i, kepribadian mutahalli dan lain sebagainya.
3.      Ihsan
Kata ihsan berasal dari kata hasuna yang berarti baik atau bagus. Seluruh perilaku yang mendatangkan manfaat dan menghindarkan kemudharatan merupakan perilaku yang ihsan. Namun karena ukuran ihsan bagi manusia sangat relative dan temporal, maka criteria ihsan yang sesungguhnya berasal dari Allah swt. Karena itu hadits Nabi Muhammad saw menyebutkan bahwa ihsan bermuara pada peribadatan  dan muwajahah, dimana ketika sang hamba mengabdikan diri pada-Nya seakan-akan bertatap muka dan hidup bersama (ma`iyyah) dengan-Nya, sehingga seluruh perilakunya menjadi baik dan bagus. Sang budak tidak akan berbuat buruk dihadapan majikannya, apalagi sang hamba dihadapan tuhannya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepribadian muhsin adalah kepribadian yang dapat memperbaiki dan mempercantik individu. Baik berhubungan dengan diri sendiri, sesamanya, alam semesta dan tuhan yang diniatkan hanya untuk mencari ridha-Nya.[11]


III.             Kesimpulan

Menurut Pandangan Islam kebahagiaan terbagi kepada dua hal, duniawi dan ukhrawi. Disini perlu diperhatikan bahwa, menurut pandangan Islam kedua kebahagiaan itu tidak dapat dipisahkan, sebab kebahagiaan dunia hanyalah jalan kearah kebahagiaan akhirat, sedangkan kebahagiaan akhirat tidak dapat dicapai tanpa usaha didunia. Namun memang tumpuan pembicaraan kita disini adalah kebahagiaan di dunia, dan inilah yang biasanya diberi nama dengan kesehatan mental.
Kebahagiaan didunia ini berarti selamat dari hal-hal yang mengancam kehidupan didunia ini. Yang mengancam kehidupan dunia ini banyak, seperti kehilangan harta benda atau orang yang dikasihi, kegagalan mencapai cita-cita, dan lain sebagainya yang kesemuanya mengancam kehidupan dan menimbulkan kesedihan, ketakutan dan kecemasan.
Menurut Al-Qur`an, keadaan yang merisaukan itu bersumber dari manusia sendiri, yaitu sifat lupa. Oleh sebab itu ia memerlukan petunjuk dari penciptanya, agar ia bisa menyadari perasaan duka dan nestapa yang dimilikinya bersumber dari Allah SWT yang telah menjadikannya dan memberikan semua kepadanya dengan hikmah yang dimiliki-Nya. Maka disinilah sumbangan besar agama dalam kesehatan mental manusia. 

















Daftar Pustaka
Abdul Mujib, Jusuf Muzakkir; Nuansa-nuansa Psikologi Islam; Raja Grafindo Perkasa; Jakarta; 2002.
Abdul Mujib; Kepribadian Dalam Psikologi Islam; PT Raja Grafindo Perkasa; Jakarta; 2006.
Hasan Langgulung; Teori-teori Kesehatan Mental; Pustaka Al-Husna; Jakarta; Cet.2; 1992.
Jalaluddin; Psikologi Agama; Raja Grafindo Persada; Jakarta;  2008.
Mustafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat; Bulan Bintang; Jakarta; cet 1; 1977.
Musthafa Fahmi; Penyesuaian Diri, Pengertian dan Peranannya Dalam Kesehatan Mental; Bulan Bintang; Jakarta ; 1982.
Ramayulis; Psikologi Agama; Kalam Mulia; Jakarta; 2002.
Yusak Burhanuddin; Kesehatan Mental; Penerbit Pustaka Setia; Bandung; 1999.



[1] Yusak Burhanuddin; Kesehatan Mental; Penerbit Pustaka Setia; Bandung; 1999; Hal.12.
[2] Musthafa Fahmi; Penyesuaian Diri, Pengertian dan Peranannya Dalam Kesehatan Mental; Bulan Bintang; Jakarta ; 1982; Hal. 96.
[3] Mustafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat. (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) cet. 1, h. 20
[4] Jalaluddin, Psikologi Agama. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008) h. 160
[5] Ramayulis,Haji,. Op., cit,
[6] Ramayulis,Haji,. Op., cit, h. 152
[7] Mustafa Fahmi,. Op, cit, h. 21
[8] Ramayulis,Haji,. Op., cit, h. 130
[9] Ramayulis,Haji, Psikologi Agama. (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h.128
[10] Abdul Mujib, Jusuf Muzakkir; Nuansa-nuansa Psikologi Islam; Raja Grafindo Perkasa; Jakarta; 2002; Hal. 149.
[11] Abdul Mujib; Kepribadian Dalam Psikologi Islam; PT Raja Grafindo Perkasa; Jakarta; 2006; Hal. 305.

Theme images by loops7. Powered by Blogger.