Kesehatan Mental
Berbagai tingkah
laku masyarakat yang beraneka ragam mendorong para ahli ilmu jiwa untuk
menyelidiki apa penyebab perbedaan tingkah laku orang-orang dalam kehidupan
bermasyarakat sekalipun dalam kondisi yang sama. Selain itu, juga menyelidiki
penyebab seseorang tidak mampu mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan dalam
hidupnya. Usaha ini kemudian menimbulkan satu cabang ilmu jiwa yaitu kesehatan
mental.
Dengan memahami
ilmu kesehatan mental dalam arti mengerti, mau, dan mampu mengaktualisasikan
dirinya, maka seseorang tidak akan mengalami bermacam-macam ketegangan,
ketakutan, konflik batin. Selain itu, ia melakukan upaya agar jiwanya menjadi
seimbang dan kepribadiannya pun terintegrasi dengan baik. Ia juga akan mampu
memecahkan segala permasalahan hidup[1].
Kematangan dan kesehatan mental berhubungan erat
antara satu sama lainnya dan saling tergantung. Apabila kita bicara tentang
keduanya secara terpisah maka hanya sekadar untuk memudahkan penganalisaannya.
Karena sangat sulit untuk membanyangkan seseorang yang matang dari segi sosial
dan tidak matang dari segi kejiwaan.
Orang yang matang
bukanlah orang yang telah sampai kepada ukuran tertentu dari perkembangan,
kemudian berhenti sampai disitu. Akan tetapi ia adalah orang yang selalu dalam
keadaan matang. Artinya orang yang selalu bertambah kuat dan subur hubungannya
dengan kehidupan. Karena sikapnya mendorongnya untuk tumbuh, bukan berhenti
dari pertumbuhan. Oleh karena itu seorang yang matang, bukanlah orang yang
mengetahui sejumlah besar fakta akan tetapi orang yang matang adalah orang yang
kebiasaan-kebiasaan mentalnya membantunya untuk mengembangkan pengetahuannya
dan mengunakannya dengan bijaksana[2].
Terdapat beberapa istilah
kesehatan mental dalam Al-Qur`an dan Hadits seperti najat (keselamatan) fawz (keberuntungan),
falah (kemakmuran), dan sa`adah (kebahagiaan) berikut dengan berbagai akar
katanya. Bentuk kebahagiaannya atau kesehatan mental meliputi yang berlaku di
dunia ini dan yang berlaku dalam kehidupan akhirat. Yang pertama berarti selamat dari hal yang mengancam
kehidupan dunia ini. Sedang yang kedua selain dari pada selamat dari kecelakaan
dan siksa, juga menerima ganjaran dan kebahagiaan.
II.
Pembahasan
a.
Pengertian
Kesehatan Mental Menurut Barat
Kesehatan mental
sebagai salah satu cabang ilmu jiwa sudah dikenal sejak abad ke-19, seperti di
Jerman tahun 1875 M, orang sudah mengenal kesehatan mental sebagai suatu ilmu
walupun dalam bentuk sedarhana.
Istilah “Kesehatan
Jiwa(mental)” telah menjadi populer di kalangan orang-orang terpelajar, seperti
istilah-istilah ilmu jiwa lainnya; misalnya kompleks jiwa, sakit saraf dan
hysteria; banyak diantara mereka menggunakan kata-kata tersebut baik pada
tempatnya atau tidak dalam pengertian yang tidak sesuai dengan pengertian
ilmiah dan istilah-istilah tersebut.[3]
Apabila ditinjau
dari etimologi, kata mental berasal dari kata latin mens atau mentis
yang berarti roh, sukma, jiwa atau nyawa.
Ilmu kesehatan
mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan jiwa/ mental yang
bertujuan mencegah timbulnya gangguan atau penyakit mental dan gangguan emosi,
dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental serta memajukan
kesehatan jiwa rakyat.
Kesehatan mental adalah
terhindarnya seseorang dari gejala jiwa (neurose) dan gejala penyakit
jiwa (psikose). Jadi menurut definisi ini, seseorang dikatakan bermental
sehat bila orang yang terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa yaitu adanya
perasaan cemas tanpa diketahui sebabnya. Malas dan hilangnya kegairahan bekerja
pada seseorang. Bila gejala ini meningkat maka akan menyebabkan penyakit anxiety,
neurasthenis, atau hysteria dan sebagainya. Adapun orang sakit jiwa
biasanya memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan orang pada umumnya.
Inilah yang kita kenal dengan orang gila.
Kesehatan
mental (mental bygiene) juga meliputi sistem
tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan
serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang
sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang,
aman, dan tenteram.[4]
b.
Pengertian
Kesehatan Mental Menurut Islam
Pandangan
islam tentang manusia dan kesehatan mental, berbeda dangan aliran-aliran
psikologi yang empat. Manusia dalam pandangan Islam diciptakan oleh Allah
dengan tujuan tertantu:
a.
Menjadi hamba Allah
(abd Allah) yang tugasnya mengabdi
kepada Allah SWT.
b.
Menjadi khalifah Allah fi al-Ardh yang tugasnya
mengolah alam dan memanfaatkannya untuk kepetingan makhluk dalam rangka
Ubudiyah kepada-Nya.
Agar
tujuan tersebut dapat dicapai manusia dilengkapi dengan berbagai potensi yang
harus dikembangan dan dimanfaatkan sesuai dengan aturan Allah. Oleh karena itu
kesehatan mental dalam pandangan islam adalah pengembangan dan pemanfaatan
potensi-potensi tersebut semaksimal mungkin, dengan niat ikhlas beribadah hanya
kepada Allah. Dengan demikian orang yang sehat mentalnya, adalah orang yang
mengembangkan dan memanfaatkan seganap potensinya seoptimal mungkin melalui
jalan yang diridhai Allah, dengan motif beribadah kepada-Nya.
Dari
keempat aliran psikologi semuanya mendasarkan teoti kesehatan mentalnya hanya
pada konsep dasar manusia yang sebenarnya belum utuh. Kekurangutuhan itu akan
tampak bila diteliti dengan seksama, ternyata keempat aliran tersebut
membicarakan konsep kepribadian manusia, namun belum menyinggung bagaimana kaitannya
dengan Sang Pencipta. Oleh karena itu orang kesulitan untuk menjawab bagaimana
sebanarnya tentang konsep jiwa/mental yang sehat, tampaknya sulit ditentukan
jawaban yang tuntas. Masing-masing aliran belum mampu mengembangkan seluruh
potensi manusia, sehingga aliran humanistik dan transpersonal yang kajiannya
lebih sempurna mengenai manusiapun ternyata masih belum sempurna menurut Islam.[5]
Menurut
pandangan Islam orang sehat mentalnya ialah orang yang berprilaku, pikiran, dan
perasaannya mencerminkan dan sesuai dengan ajaran Islam. Ini berarti, orang
yang sehat mentalnya ialah orang yang didalam dirinya terdapat keterpaduan
antara perilaku, perasaan, pikiranya dan jiwa keberagamaannya. Dengan demikian,
tampaknya sulit diciptakan kondisi kesehatan mental dangan tanpa agama. Bahkan
dalam hal ini Malik B. Badri berdasarkan
pengamatanya berpendapat, keyakinan seseorang terhadap Islam sangat
berperan dalam membebaskan jiwa dari gangguan dan penyakit kejiwaan. Disinilah
peran penting Islam dalam membina kesehatan mental.[6] Zakiah Daradjat merumuskan
pengertian kesehatan mental dalam pengertian yang luas dengan memasukkan aspek
agama didalamnya seperti berikut:
Kesehatan
mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi
kejiwaan yang terciptanya penyusuai diri antara manusia dangan dirinya sendiri
dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk
mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan di akhirat.
Di dalam
buku Prof. Dr. Mustafa Fahmi pengertian kesehatan jiwa (mental) ada dua, yaitu:
pertama, kesehatan jiwa adalah bebas
dari gejala-gejala penyakit jiwa dan gangguan kejiwaan. Kedua, kesehatan jiwa adalah dengan cara aktif, luas, lengkap tidak
terbatas, ia berhubungan dengan kemampuan orang yang menyesuaikan diri dengan
dirinya sendiri dan dengan masyarakat lingkungannya, hal itu membawanya kepada
kehidupan yang sunyi dari kegoncangan, penuh vitalitas.[7]
c. Tanda Kesehatan Mental Menurut Barat
Menurut
Marie Jahoda pengertia kesehatan mental tidak hanya terbatas kepada absennya
seseorang dari ganguan dan penyakit jiwa, tetapi orang yang sehat mentalnya,
juga memiliki sifat atau karakteristik utama sebagai berikut:
1)
Memiliki sikap
kepribadian terhadap diri sendiri dalam arti ia mengenal dirinya dengan sebaik-baiknya.
2)
Memiliki
pertumbuhan, perkembangan dan perwujudan diri.
3)
Memiliki integrasi
diri yang meliputi keseimbangan jiwa kesatuan pandangan dan tahap terhadap
tekanan-tekanan kejiwaan yang terjadi.
4)
Memiliki otonomi
diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam ataupun
kelakuan-kelakuan bebas.
5)
Memiliki persepsi
mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, dan penciptaan empati
serta kepekaan sosial.
6)
Memiliki kemampuan
untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya.[8]
d. Tanda Kesehatan Mental Dalam Islam
Dalam
pengertian yang amat sederhana mental itu sudah dikenal sejak manusia pertama (Adam), karena Adam as merasa berdosa yang
menyebabkan jiwanya gelisah dan hatinya sedih. Untuk menghilangkan kegelisahan
dan kesedihan tersebut, ia bertaubat kepada Allah dan taubatnya diterima serta
merasa lega kembali. Musthafa Fahmi, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad
Mahmud, menemukaan dua pola dalam kesehatan mental:
Pertama, pola
negatif (salabiy), bahwa kesehatan
mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala neurosis (al-amarah al-ashabiyah) dan psikosis (al-amaradh al-dzibaniyah).
Kedua, pola
positif (ijabiy), bahwa kesehatan
mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan
terhadap lingkungan sosialnya. Pola yang kedua ini lebih umum dan lebih luas
dibandingkan dengan pola pertama.[9]
e.
Indikator
Kesehatan Mental Dalam Islam
1.
Indikator Kesehatan
Mental Menurut Said Hawa
Said
Hawa menetapkan indikator kesehatan mental berdasarkan tathhiral-qalh (penyucian jiwa) dengan indikatornya sebagai
berikut:
a)
Sempurna dalam
melaksanakan ibadah sesuai dengan perintah Allah SWT.
b)
Terlihat efek dari
peribadatanya pada sifat-sifatnya yang utama dan akhlak-al-karimah dan
melaksanakan habl in Allah dan habl min al-nas.
c)
Mempunyai hati yang
mantap dalam mentauhidkan Allah SWT.
d)
Tidak mempunyai
penyakit hati, yang bertentangan dengan keesaan Allah SWT.
e)
Jiwa menjadi suci,
hatinya menjadi suci, dan pandangannya menjadi jernih.
f)
Seluruh anggota
badannya senantiasa berbuat sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah
SWT.
2.
Indikator Kesehatan
Mental Menurut Ahmad Farid
Ahmad
Farid enetapkan indikator Kesehatan Mental berdasarkan kepada agama sebagai
berikut:
a)
Berfokus pada
akhirat
b)
Tiada meninggalkan
zikrullah
c)
Selalu merindukan
untuk beribadah kepada Allah
d)
Tujuan hidupnya
hanya Kepada Allah
e)
Kyusu’ dalam
menegakkan shalat dan saat itu ia lupa akan segala urusan dunia
f)
Menghargai waktu
dan tidak bakhil harta
g)
Tidak berputus asa
dan tidak malas untuk berzikir
h)
Mengutamakan kualitas
perbuatan
3.
Indikator Kesehatan
Mental Menurut Zakiah Daradjat.
Zakiah
Daradjat menetapkan indikator kesehatan mental dengan memasukkan unsur keimanan
dan ketaqwaan, sebagai berikut:
a)
Terbebas dari
gangguan dan penyakit jiwa
b)
Terwujudnya
keserasian antara unsur-unsur kejiwaan
c)
Mempunyai kemampuan
dalam menyesuaikan diri secara fleksibel dan menciptakan hubungan yang
bermanfaat dan menyenangkan antar individu
d)
Mempunyai kemampuan
dalam mengembangkan potensi yang dimiliknya serta memanfaatkannya untuk dirinya
dan orang lain
e)
Beriman dan
bertakwa kepada Allah dan selalu berupaya merealisasikan tercipta kehidupan
yang bahagia di dunia dan akhirat.
4.
Indikator Kesehatan
Mental Menurut Al-Ghazali didasarkan kepada seluruh aspek kehidupan manusia
baik habl min Allah, habl min al-nas, dan
habl min al-alam. Menurutnya ada tiga
indikator yang menantukan kesehatan mental seseorang yaitu:
a)
Keseimbangan yang
terus menerus antara jesmani dan rohani dalam, kehidupan manusia.
b)
Memiliki kemuliaan
akhlak dan kezakiyahan jiwa, atau memiliki kualitas iman dan takwa yang tinggal
c)
Memiliki makrifat
tauhid kepada Allah
f.
Keabnormalan
Mental Dalam Islam
Menurut
Zakiah Daradjat, keabnormalan mental adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang
tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan psikis.
Keabnormalan tersebut tidak disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-bagian
anggota badan meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat pada fisik.
Keabnormalan dapat dibagi atas dua bagian, yaitu (1) gangguan mental (jiwa/neurose), dan (2) sakit mental (jiwa/psychose).
Dalam
perspektif Islam sehat atau tidaknya mental seseorang berpijak pada aspek
spiritualitas keagamaan. Seberapa jauh keimanan seseorang yang tercermin dalam
kehidupan keberagamaan dalam kesehariannya menjadi titik tolak penting dalam
menantukan sehat atau tidaknya mental seseorang. Dalam perspektif Islam
gangguan dan tidak sakit mental tidak hanya diukur dengan ukuran humanistik
saja, sebagaimana diikut oleh semua aliran psikologi kontemporer. Akan tetapi Islam
juga melihat bagaimana kaitannya dengan iman dan akhlak.
Al-Ghazali
memandang bahwa keabnormalan mental indetik dengan akhlak yang buruk. Akhlak
yang baik dikategorikan sebagai sifat para rasul Allah, perbuatan para
al-Shiddiqin paling utama. Sedangkan akhlak yang buruk dinyatakan sebagai racun
yang berbisa yang dapat membunuh, atau kotoran yang bisa menjauhkan seseorang
dari Allah SWT. Disamping itu akhlak yang buruk juga termasuk ke dalam langkah
setan yang bisa menjerumuskan manusia masuk dalam perangkapnya.
Gangguan
mental dalam Islam berkaitan dengan penyimpanan-penyimpangan sikap batin.
Inilah yang menjadi dasar dan awal dari semua pendarita batin. Ada aspek
penting yang menjadi ciri-ciri gangguan mental menurut islam yaitu qalb dan af’al (hati dan perbuatan). Gejala-gejala gangguan mental semacam
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)
Hati yang
menyimpang dari keikhlasan dan ketundukan kepada Allah sehingga menjadi lupa
terhadap posisinya sebagai hamba Allah. Wujud dari penyimpangan ini bisa dalam bentuk ria, hasad, ujub,
takabur, tamak dan sebagainya.
2)
Perilaku yang
terbiasa dengan pelanggaran ajaran agama disebabkan oleh dominannya peran nafs al-ammarah dalam kehidupan.
g.
Cara
Memelihara Kesehatan Mental Menurut Islam
Dalam literatur
yang berkembang ada beberapa cara untuk memelihara kesehatan mental dalam Islam
salah satunya adalah pola atau metode Iman Islam Dan Ihsan yang didalamnya
terdapat berbagai macam karakter berdasarkan konsep Iman Islam Dan Ihsan.[10]
1.
Iman
Didalam metode iman
terdapat beberapa macam pola karakter. Pertama,
karakter rabbani yang berasal dari kata rabb yang dalam bahasa Indonesia berarti tuhan,
yaitu tuhan yang memiliki, memperbaiki, mengatur. Istilah rabbani dalam konteks
ini memiliki ekuivalensi dengan
mentransformasikan asma dan sifat tuhan kedalam dirinya untuk kemudian
diinternalisasikan dengan kehidupan nyata.
Kedua, karakter malaki
adalah kepribadian individu yang didapat setelah mentransformasikan sifat-sifat
malaikat kedalam dirinya untuk kemudian di internalisasikan kedalam kehidupan
nyata.
Ketiga, karakter Qurani
yang pada intinya kepribadian qurani adalah kepribadian yang melaksanakan
sepenuh hati nilai-nilai al-Qur`an baik pada dimensi I`tiqadiyah, Khulukqiyah,
amaliyah, ibadah, muamalah, daruriyyah, hajiyyah, ataupun tahsiniyah,
Keempat, karakter rasuli
yang. mengarah pada sifat-sifat khas seorang rasul sebagai manusi pilihan (Al-Musthafa) berupa sifat Jujur,
Terpercaya, Menyampaikan perintah dan cerdas.
Kelima, Karakter yawm
akhiri adalah kepribadian individu yang didapat sesudah mengimani, mamhami dan
mempersiapkan diri untuk memasuki hari akhir dimana seluruh perilaku manusia
dimintai pertanggungjawaban. Kepribadian ini menuju kepada salah satu
konsekwensi perilaku manusia, dimana yang amalnya baik akan mendapatkan
kenikmatan syurga sementara bagi yang amalnya buruk akan mendapatkan kesengsaraan
neraka.
Keenam, karakter taqdiri, Pola-pola tingkah laku taqdiri antara lain;
pertama, bertingkah laku berdasarkan aturan dan hukum tuhan, sehingga tidak
semena-mena memperturutkan hawa nafsu. Kedua, membangun jiwa optimis dalam
mencapai sesuatu tujuan hidup. Tidak sombong ketika mendapatkan kesuksesan
hidup. Tidak pesimis, stress atau depresi ketika mendapatkan kegagalan.
2.
Islam
Didalam metode
Islam terdapat beberapa macam pola karakter. Pertama, kepribadian syahadatain adalah kepribadian individu yang
didapat setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, memahami hakikat dari
ucapannya serta menyadari akan segala konsekwensi persaksiannya tersebut.
Kepribadian syahadatain meliputi domanin kognitif dengan pengucapan dua kalimat
secara verbal; domain afektif dengan kesadaran hati yang tulus; dan domain
psikomotorik dengan melakukan segala perbuatan sebagai konsekwensi dari
persaksiannya itu.
Kedua, karakter mushalli
adalah kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan shalat dengan
baik, konsisten, tertib, dan khusyu, sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa
yang dikerjakan.
Ketiga, karakter shaim
adalah kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan puasa dengan
penuh keimanan dan ketakwaan, sehingga ia dapat mengendalikan diri dengan baik.
Pengertian ini didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mampu menahan diri dari
sesuatu yang membatalkan puasa memiliki kepribadian lebih kokoh, tahan uji, dan
stabil ketimbang orang yang tidak mengerjakannya, sebab ia mendapatkan hikmah
dari perbuatannya.
Keempat, karakter muzakki
adalah pribadi yang suci, fitrah dan tanpa dosa. Ia memilki kepribadian yang
seimbang, mampu menyelaraskan antara aktifitas yang berdimensi vertikal dan
horizontal. Ia adalah sosok yang empatik terhadap penderitaan pribadi lain.
Kelima, karakter haji
adalah orang yang telah melakukan ibadah haji yang secara etimologi berarti
menyengaja pada sesuatu yang diagungkan. Orang yang melaksanakan haji hatinya
selalu tertuju pada yang maha tinggi. Orang yang berhaji memiliki beberapa
kepribadian antara lain : kepribadian muhrim, kepribadian thawif, kepribadian
waqif, kepribadian sa`i, kepribadian mutahalli dan lain sebagainya.
3.
Ihsan
Kata ihsan berasal
dari kata hasuna yang berarti baik atau bagus. Seluruh perilaku yang
mendatangkan manfaat dan menghindarkan kemudharatan merupakan perilaku yang
ihsan. Namun karena ukuran ihsan bagi manusia sangat relative dan temporal,
maka criteria ihsan yang sesungguhnya berasal dari Allah swt. Karena itu hadits
Nabi Muhammad saw menyebutkan bahwa ihsan bermuara pada peribadatan dan muwajahah, dimana ketika sang hamba
mengabdikan diri pada-Nya seakan-akan bertatap muka dan hidup bersama
(ma`iyyah) dengan-Nya, sehingga seluruh perilakunya menjadi baik dan bagus.
Sang budak tidak akan berbuat buruk dihadapan majikannya, apalagi sang hamba
dihadapan tuhannya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepribadian muhsin
adalah kepribadian yang dapat memperbaiki dan mempercantik individu. Baik
berhubungan dengan diri sendiri, sesamanya, alam semesta dan tuhan yang
diniatkan hanya untuk mencari ridha-Nya.[11]
III.
Kesimpulan
Menurut Pandangan Islam kebahagiaan terbagi kepada dua
hal, duniawi dan ukhrawi. Disini perlu diperhatikan bahwa, menurut pandangan
Islam kedua kebahagiaan itu tidak dapat dipisahkan, sebab kebahagiaan dunia
hanyalah jalan kearah kebahagiaan akhirat, sedangkan kebahagiaan akhirat tidak
dapat dicapai tanpa usaha didunia. Namun memang tumpuan pembicaraan kita disini
adalah kebahagiaan di dunia, dan inilah yang biasanya diberi nama dengan kesehatan
mental.
Kebahagiaan didunia ini berarti selamat dari hal-hal
yang mengancam kehidupan didunia ini. Yang mengancam kehidupan dunia ini
banyak, seperti kehilangan harta benda atau orang yang dikasihi, kegagalan
mencapai cita-cita, dan lain sebagainya yang kesemuanya mengancam kehidupan dan
menimbulkan kesedihan, ketakutan dan kecemasan.
Menurut Al-Qur`an, keadaan yang merisaukan itu
bersumber dari manusia sendiri, yaitu sifat lupa. Oleh sebab itu ia memerlukan
petunjuk dari penciptanya, agar ia bisa menyadari perasaan duka dan nestapa
yang dimilikinya bersumber dari Allah SWT yang telah menjadikannya dan
memberikan semua kepadanya dengan hikmah yang dimiliki-Nya. Maka disinilah
sumbangan besar agama dalam kesehatan mental manusia.
Daftar Pustaka
Abdul Mujib,
Jusuf Muzakkir; Nuansa-nuansa Psikologi
Islam; Raja Grafindo Perkasa; Jakarta; 2002.
Abdul Mujib; Kepribadian
Dalam Psikologi Islam; PT Raja Grafindo Perkasa; Jakarta; 2006.
Hasan Langgulung; Teori-teori Kesehatan Mental; Pustaka Al-Husna;
Jakarta; Cet.2; 1992.
Jalaluddin; Psikologi Agama; Raja Grafindo Persada; Jakarta; 2008.
Mustafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan
Masyarakat; Bulan Bintang; Jakarta; cet 1; 1977.
Musthafa Fahmi; Penyesuaian
Diri, Pengertian dan Peranannya Dalam Kesehatan Mental; Bulan Bintang;
Jakarta ; 1982.
Ramayulis; Psikologi Agama; Kalam
Mulia; Jakarta; 2002.
Yusak Burhanuddin; Kesehatan
Mental; Penerbit Pustaka Setia; Bandung; 1999.
[1] Yusak Burhanuddin; Kesehatan
Mental; Penerbit Pustaka Setia; Bandung; 1999; Hal.12.
[2] Musthafa Fahmi; Penyesuaian
Diri, Pengertian dan Peranannya Dalam Kesehatan Mental; Bulan Bintang;
Jakarta ; 1982; Hal. 96.
[3] Mustafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan
Masyarakat. (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) cet. 1, h. 20
[4] Jalaluddin, Psikologi Agama. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008) h. 160
[5] Ramayulis,Haji,. Op., cit,
[6] Ramayulis,Haji,. Op., cit, h. 152
[7] Mustafa Fahmi,. Op, cit, h. 21
[8] Ramayulis,Haji,. Op., cit, h. 130
[9] Ramayulis,Haji, Psikologi Agama. (Jakarta: Kalam Mulia,
2002), h.128
[10] Abdul Mujib, Jusuf
Muzakkir; Nuansa-nuansa Psikologi Islam;
Raja Grafindo Perkasa; Jakarta; 2002; Hal. 149.
[11] Abdul Mujib; Kepribadian
Dalam Psikologi Islam; PT Raja Grafindo Perkasa; Jakarta; 2006; Hal. 305.