Islam dan Korupsi Di Indonesia Dewasa Ini
I.
Pendahuluan
Dalam
kehidupan suatu masyarakat atau suatu bangsa, akan terdapat sebuah sistem
kepemerintahan yang bertugas dan berwenang untuk mengatur urusan suatu bangsa
atau masyarakat tersebut, dalam praktek dan kenyataannya, seringkali kita
mendapati suatu kondisi dimana terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan
kewenangan atau aturan yang mengakibatkan terjadinya kerugian baik bagi
perseorangan maupun secara kolektif dalam tataran minimal maupun massif.
Penyalahgunaan
dan penyimpangan yang terjadi tersebut adalah suatu kejahatan yang sekarang
populer dengan istilah korupsi. Korupsi sendiri secara etimologis berasal dari
kata corruptus yang berarti menghancurkan atau benda yang hancur. Dalam
konsepnya, korupsi adalah suatu bentuk penyimpangan dari etika, moral, tradisi,
hukum dan kebaikan umum[1].
Dalam
perkembangan beberapa dasawarsa ini korupsi tak lagi dianggap sebagai sebuah
mismanagement sebagaimana terjadi pada era pemerintahan orde baru, ia telah
dianggap sebagai salah satu kejahatan maha besar sehingga dimasukkan dalam
kelompok ekstaordinary crime yang berarti ia memiliki kedudukan yang
sama dengan terorisme. Anggapan ini sangat wajar jika kita dasarkan pada
besarnya daya rusaknya korupsi, dimana ia tidak sekadar menimbulkan kerugian
keuangan negara
yang mencapai angka triliunan rupiah, tetapi lebih jauh dari itu, ia ikut menghancurkan
sumber daya yang terkait dengan kemanusiaan, sosial dan alam. Ia juga merusak tatanan
sistem demokrasi, dan mendelegitimasi terwujudnya supremasi hukum.
Jika
kita ingin menilik dan mengurai gunung es korupsi maka paling tidak kita akan
menemukan lima jenis masalah penyebab korupsi yaitu (1) buruknya sistem (2)
lemahnya pengawasan (3) minimnya
kesejahteraan dan (4) integritas pegawai pemilik kewenangan serta (5) kurangnya
budaya taat hukum[2].
Sebagai
sebuah negara yang memiliki potensi kekayaan alam yang melimpah dan sumber daya
manusia yang sebenarnya mempunyai daya saing jika dikelola dengan baik dan
benar, Indonesia sesungguhnya memiliki segala syarat dan prasyarat untuk
menjadi sebuah negara yang besar dan kuat. Namun, dalam kenyataannya Indonesia
justru terpuruk di dalam jurang degradasi, baik dari segi ekonomi, politik,
hukum, moral bahkan lingkungan.
Ini
bisa kita mafhumi adanya, dengan melihat bagaimana sistem politik dan hukum
yang ada dan kita terapkan sekarang. Potensi masalah penyebab korupsi dalam konteks kesisteman dinegeri ini bisa
muncul dan terjadi akibat dari
buruknya sistem politik yang kita miliki yang sarat dengan money politics, dan ujung-ujungnya menghasilkan pemimpin yang buruk.
Dalam ranah hukum, korupsi terjadi karena pengawasan yang
begitu lemah, aturan dan perundang-undangan yang tumpang tindih. Sedangkan diranah publik rendahnya remunerasi bagi pegawai, karyawan dan buruh di
instansi pemerintahan maupun swasta, serta tingginya disparitas antara
pendapatan dan peredaran uang dilingkungan dimana seseorang bekerja akan
menjadi bibit dan menumbuh suburkan munculnya sikap dan perilaku korupsi.
Selain
karena faktor sistem, korupsi juga adalah sebuah realitas psikokultural ia
menjadi fenomena sosial yang tak terbantahkan dan ada disekitar kita. Ia
menjadi sebuah fakta, karena keberadaan tindakan korupsi yang telah begitu
mengakar dan mendarah daging dalam realitas psikologis masyarakat kita.
Sebagai
sebuah realitas psikokultural. Ia memiliki akar psikologis dan kulturan
mendalam. Dalam tataran sosial ada
sebuah
fenomena sosial psikologis yang
memungkinkan seseorang untuk melakukan korupsi yang bertentangan dengan aturan
hukum maupun norma agama,
Disini
kita akan dapat mengerti
mengapa Indonesia, negara berpenduduk muslim terbesar di dunia,
justru menjadi negara terkorup no 3 di dunia[3].
II.
Islam
dan Kejahatan Korupsi
a.
Korupsi Dalam Perspektif Normatif Islam
Dalam khazanah Islam kita memang tidak akan
menemukan definisi dan pembahasan khusus tentang korupsi, ini disebabkan karena korupsi merupakan
istilah modern yang baru saja digunakan
pada abad milenium ini. kendati demikian lantaran kenyataan bahwa korupsi
merupakan sebuah kata yang mengacu pada beberapa praktik kecurangan dalam
transaksi antar manusia, kata itu dapat dilacak perbandingannya dalam beberapa
ungkapan tindakan curang yang dilarang dalam Islam.
Untuk mengindentifikasi beberapa bentuk ekspresi korupsi
yang disebutkan dalam kitab fiqih klasik, terlebih dahulu harus diketahui
secara persis unsur-unsur korupsi. Oleh karena itu, merujuk pada pengertian
tindak pidana korupsi dalam hukum negara Indonesia Kita bisa menemukan unsur-unsur korupsi, seperti yang tercantum
dalam UU No. 31 Tahun 1999 pada pasal 2 adalah sebagai berikut
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan Memperkaya Diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian negara”[4].
Berarti
secara normatif dapat kita pahami bahwa korupsi memiliki tiga unsur utama
sebagai sebuah tindak pidana korupsi berupa tindakan melawan hukum, dengan tujuan memperkaya diri sendiri, dan
hal tersebut merugikan keuangan negara.
Namun
definisi melawan hukum seperti yang
tercantum dalam undang-undang tersebut diatas menurut
pandangan dari GNPK (gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi)-PP Muhammadiyah masih memberikan peluang terjadinya korupsi manakala
hukum yang dilegalkan merupakan hasil dari upaya manipulatif dan culas sehingga
menghasilkan hukum koruptif. Oleh karena itu menurut mereka, definisi yang diajukan harus lebih umum dan mencakup
dengan tidak membatasi pada melawan hukum dan merugikan negara saja. Maka definisi
korupsi yang sesungguhnya adalah tindakan yang bertentangan dengan norma
masyarakat, agama,moral dan hukum dengan tujuan memperkaya diri atau orang lain
atau korporasi yang mengakibatkan rusaknya tatanan yang sudah disepakati yang
berakibat pada hilangnya hak-hak orang lain, korporasi atau negara yang
semestinya diperoleh[5].
Bentuk-bentuk korupsi sebagaimana definisi terakhir ini
dapat kita jumpai ungkapannya dalam beberapa konsep-konsep ajaran
Islam maupun dalam aturan normatif
hukum
fiqih. Beberapa istilah
yang mengandung unsur korupsi tersebut adalah : ghulul (kecurangan), risywah (suap),
ghasab (merampas), dan sariqah (mencuri). Yang mana aturan
normatif fiqih dalam khazanah klasik telah sebegitu terang dan jelas
menguraikan keharaman dan kemudharatannya serta sanksi yang berat bagi
tiap-tiap pelakunya.
Dalam Islam kejujuran merupakan salah satu sifat mulia yang
menjadi
tujuan diturunkannya Islam ke bumi. Dalam al-Qur`an sendiri kita sering
menjumpai ayat yang memerintahkan kita untuk bersifat jujur, benar dan adil
firmannya :
Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS
Al-Maidah 5: 8).
Ayat
ini memerintahkan kepada kita semua untuk berlaku jujur dan adil dalam setiap
perilaku dan keputusan yang kita ambil, terlepas dari yang di beri putusan
orang yang dekat atau malah lawan politik kita[6].
Rasulullah
sendiri selain mempraktekkan kejujuran dalam kesehariannya seringkali
mengingatkan ummatnya untuk berlaku jujur dalam setiap hal :
“Berlaku
jujurlah kalian, sebab jujur mengarahkan kita kepada kebaikan, dan kebaikan
mengantar kita kesyurga, tiada henti-hentinya seseorang berbuat jujur hingga
dicatat di sisi Allah sebagai seorang ahli kejujuran. Hindarilah olehmu sifat
dusta, sebab dusta mengajak kita kepada kekejian, dan kekejian mengantar kita
ke neraka, tiada henti-hentinya seseorang melakukan kedustaan hingga dicatat di
sisi Allah sebagai pendusta.” (HR Al-Bukhari,
Muslim, Abi Dawud, dan Tirmidzi dari Ibn Mas`ud).
Kejujuran
telah pula di teladankan oleh para sahabat rasul dan khulafaurrasyidin
sesudahnya. Dikisahkan suatu ketika Utsman ibn Affan sedang beristiraht
dirumahnya dalam cuaca yang sangat panas sampai unta pun terpaksa berteduh
dibawah bayangan masjid. Tidak lama kemudian datanglah seorang pria paro baya
terhuyung-huyung menutupi mukanya. Tanpa menghiraukan hamburan debu, orang itu
berlari menembus tengah hari yang panasnya mengeringkan semak belukar.
Utsman
ibn Affan mengintai dari jendela rumahnya. Dia heran, siapa lelaki yang
menantang matahari sementara di jalan tak seorang pun yangh keluar karena terik
matahari. Tidak berapa lama lelaki tersebut muncul kembali dengan menuntun
seekor sapi. Utsman pun penasaran dan mencoba memanggil lelaki tersebut.
Manakala
lelaki itu mendekat, terkejutlah Utsman karena lelaki tersebut tidak lain
adalah sayyidina Umar khalifah waktu itu. Dengan serta merta Utsman bertanya, “
Darimana engkau, wahai amirul mukminin ?”
Umar
menjawab, “ Engkau lihat sendiri bukan aku sedang menyeret sapi.”
“Milik
siapa itu ?” Tanya Utsman tambah terkejut, sebab Utsman tahu bahwa Umar bukan
tipe orang yang bersedia berpayah-payah dan risau dalam urusan harta
pribadinya.
“Ini
salah satu sapi sedekah kepunyaan anak-anak yatim yang terlepas dari kandangnya
dan lari kejalan raya. Aku kejar dan sekarang aku tangkap kembali.”
Utsman
tersentak, “Bukankah ada orang lain yang dapat melakukan pekerjaan itu ?
bukankah engkau seorang khalifah”. Tanyanya lagi.
“Siapakah
yang bersedia menebus dosaku di hari perhitungan kelak ? Maukah orang itu
memikul tanggung jawabku dihadapan tuhan ? Kekuasaan adalah amanah saudaraku,
bukan kehormatan”. Jawab Umar dengan tegas.
Utsman
kemudian menyarakan sahabatnya tersebut beristirahat dulu sebentar dirumahnya
sambil menunggu cuaca agak redup. Umar hanya menjawab, “Kembalilah ke tempat
bernaungmu, saudaraku, biarlah kuselesaikan kewajibanku.”
Dengan
terseok-seok, Umar melanjutkan perjalanannya menuntut sapi tersebut diikuti
tatapan mata Ustman yang telah membasah. Ustman menggumam, “Engkau merupakan
cermin bagaimana seharusnya seorang pemimpin berbuat, dan hal itu pasti akan membuat
berat para khalifah sesudahmu.[7]”
b. Korupsi dalam Konteks Sistemik
Birokrasi
Dalam bukunya yang berjudul Koruptor Go to Hell (2009)
Bibit Samad Rianto mengatakan bahwa korupsi bisa muncul
akibat adanya empat faktor yang menjadi
potensi korupsi. Atau yang kemudian disebutnya sebagai empat
jenis kerawanan (hazard) berupa : (1)
lokasi (location hazard), manusia (human hazard), aset (material hazard), dan kegiatan (activity hazard)[8].
Lokasi (location hazard) rawan merujuk kepada
sesuatu yang berhubungan dengan keuangan negara seperti tempat keluar masuknya
uang negara serta lokasi dimana terdapat disparitas penghasilan petugas dengan
peredaran keuangan. Pada lokasi rawan ini biasanya terdapat dua kepentingan
yang bersifat simbiosis mutualisme antara “ orang dalam” dengan “orang luar”
yang memiliki kepentingan bersama yaitu mengambil keuntungan dari situasi.
Human hazard adalah situasi seseorang yang memiliki
potensi melakukan korupsi, Material
hazard berupa aset negara (inventaris
kantor, rumah dinas, fasilitas dinas, lahan atau tanah milik negara, hutan,
kekayaan alam, dan sebagainya) yang seharusnya dijaga agar tidak beralih tangan
secara tidak legal atau agar tidak dikelola secara sembarangan, bahkan sampai melawan hukum. Begitu juga dengan aset masyarakat yang disita oleh aparat
penegak hukum atau petugas pemerintah yang
tidak boleh rusak, hilang, atau digelapkan.
Activity hazard
adalah kegiatan-kegiatan yang rawan korupsi dalam pelaksanaannya, misalnya
kegiatan pengadaan barang dan jasa, kegiatan proyek atau pembangunan, kegiatan
perizinan atau pelayanan publik, kegiatan penegakan hukum dan kegiatan aparatur
pemerintah.
Secara garis besar
sejumlah sumber-sumber kerawanan korupsi di dalam sistem
pemerintahan di Indonesia diantaranya[9]
:
1.
Pada pemasukan dan pengeluaran uang negara yang biasanya
terdapat pada sektor perpajakan, dan pada BUMD dan BUMN. Di bidang pengeluaran
kerugian negara biasanya terjadi pada penentuan harga yang lebih tinggi dari
seharusnya (mark up), fee atas jasa penggolan suatu proyek yang sudah di atur
siapa pemenangnya dan pertanggung jawaban fiktif.
2. Lokasi yang
terdapat disparitas antara penghasilan dan peredaran uang, lokasi ini biasanya
terdapat pada bidang pengeluaran izin pertambangan, energi, kehutanan,
transportasi massal yang memiliki omset besar di mana para pegawai pembuat
kebijakan dan perizinan justru mendapatkan upah atau gaji yang tidak sesuai
dengan kebutuhan dan beban kerja yang mereka pikul.
3. Pemilihan pejabat
publik, saat ini kita telah terbiasa dengan praktek money politics dalam sistem perpolitikan dan pemilihan pejabat publik kepala daerah
seperti gubernur dan bupati, konstituen menuntut sang calon gubernur atau
bupati untuk memberikan bantuan material sebagai uang muka bagi suara mereka,
belum lagi beban yang di berikan oleh partai politik yang
menjadi kendaraan politik yang mensyaratkan pungutan rutin tiap bulan yang
membuat sang kepala daerah mencari jalan dengan menggerogoti uang negara untuk
mengembalikan modal dan menunaikan kewajibannya terhadap partai politik
pendukungnya.
4. Pengadaan barang
dan jasa korupsi, dibidang ini rawan terjadi menyangkut penentuan spesifikasi barang yang
dikompromikan, penambahan anggaran, manipulasi tender, serta pengurangan
kuantitas dan kualitas barang yang di adakan.
5. Pelayanan publik, jasa
perizinan dan retribusi, dibidang ini biasanya terdapat pungutan-pungutan
liar yang tidak memiliki legalitas hukum dan akan sangat
memberatkan bagi masyarakat umum yang ingin mengurus urusan “dapur” mereka,
seperti pembuatan KTP, akta kelahiran, surat nikah dan kartu keluarga[10].
6. Penerimaan aparatur negara yang kerap diwarnai dengan
praktek korupsi dan kolusi, banyaknya calo, kurangnya transparansi dalam proses
penerimaan, dan rumitnya prosedur menjadi sumber korupsi pada penerimaan
aparatur negara yang baru.
c. Penutup
Di
atas telah kita pahami bersama bahwa perilaku dan budaya korupsi muncul dari
beberapa macam faktor, namun jika kita telaah lebih mendalam, secara seksama
kita akan menemukan dua poin utama dari beberapa penyebab tersebut, yang
pertama tidak adanya sistem yang kuat yang bisa membentengi para pegawai untuk
mencegah mereka melakukan korupsi dan yang kedua kurangnya kesadaran individu
pada ketaatan akan hukum dan norma-norma agama yang di sebabkan telah
terbudayanya perilaku korupsi tersebut.
Dua langkah utama yang menjadi poin strategis bagi upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yang
harus segera kita lakukan agar
korupsi tidak terus menerus menjadi benalu yang menghambat bagi kemajuan dan
pembangunan masyarakat dan bangsa adalah:
Poin
yang pertama upaya sinergis pemerintah dari seluruh jajaran yang dikomandoi
oleh kepala negara untuk bersama-sama menanggulangi korupsi, melalui :
a. Pendekatan
hukum dan politik dengan pelaksanaan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu.
Disini diperlukan kebijakan pemerintah yang berani dan serius guna melawan
korupsi, perbaikan sistem hukum yang
lemah dan masih memberi ruang bagi pelaku korupsi untuk menghindari jerat
hukum, memberantas mafia peradilan, dan makelar kasus (markus) serta penguatan
peraturan dan perundang undangan dan perekrutan aparatur hukum yang memiliki
integritas moral yang kuat.
b. Memilih pemimpin
yang bersih. Salah
satu syarat untuk menghilangkan korupsi dalam kehidupan masyarakat adalah
memilih pemimpin yang bersih. Karena seorang pemimpin sangat
menentukan baik buruknya suatu bangsa. Pemimpin yang bersih dan berwibawa akan
menjadi panutan masyarakat. Dengan memilih pemimpin yang bersih akan mewujudkan
kehidupan yang makmur dan sejahtera dan bebas dari korupsi.
c. Perbaikan upah
sebagai upaya peningkatan kesejahteraan bagi
para pegawai, karyawan,
buruh yang
dalam hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemimpin perusahaan
untuk berupaya menyesuaikan gaji karyawan dan buruh agar
berada pada tingkatan yang wajar. Selain penetapan gaji
yang proporsional, aspek perlindungan hukum, kesehatan dan pendidkan bagi
keluarga atau karyawan, serta jaminan hidup pasca pensiun perlu menjadi perhatian serius bagi semua perusahaan,
birokrasi pemerintah, maupun lembaga swasta. Hal tersebut akan
membuat karyawan, pegawai, buruh, dapat bekerja dengan sepenuh hati lantaran ia
dapat menggantungkan hidupnya dari lembaga tempat mereka bekerja.
d. Reformasi birokrasi,
yang
diprioritaskan
bagi lembaga yang mengelola keuangan, lembaga yang menangani pemeriksaan
keuangan dan penertiban aparatur dan lembaga/aparat penegakan hukum.
beberapa
tahapan yang harus dilalui dalam
pelaksanaan reformasi birokrasi adalah (1) melakukan analisis jabatan dan
evaluasi jabatan dimana di dalamnya terdapat banyak kegiatan mulai dari
penyusunan peta jabatan, job description, spesifikasi jabatan, pengukuran beban
kerja, klasifikasi jabatan, dan persyaratan/kompetensi jabatan (2) penyusunan Standard
Operating Procedure (SOP) yang lebih efisien dan efektif dengan
mengoptimalkan teknologi informasi dan komunikasi; (3) penilaian status dan
kebutuhan SDM; (4) selain hal tersebut, sistem pelayanan administrasi satu atap
secara lebih efektif dan efesien sangat mendesak untuk diwjudkan disemua level
birokrasi pemerintahan. Karena dapat menyingkat waktu dan membuat murah biaya
pengurusan surat menyurat dan perijinan[11].
e. Pemberlakuan
sistem reward and punihsment (imbalan dan hukuman) sebagai upaya pembentukan
etos kerja yang dibuat berhubugan dengan imbalan dan sanksi. Pembetukan
kebiasaan moral itu akan terbentuk bila timbul opini secara publik bahwa ikhtiar
melakukan perbuatan yang benar dan adil adalah tindakan yang mendapat imbalan
sosial dan politik, sedangkan tindakan menyembunyikan atau turut dalam kejahatan
akan mendapatkan hukuman dan sanksi secara publik. Sistem ini sangat penting
dalam birokrasi lantaran dapat menjamin bahwa aparatur yang memiliki prestasi
yang baik akan mendapatkan promosi karier lebih cepat. Sementara itu, aparatur
yang tidak memiliki kinerja yang bagus atau melakukan kesalahan administratif
ataupun koruptif akan mendapatkan hukuman berupa sanksi administratif maupun
sanksi pidana[12].
Poin
yang kedua adalah dekonstruksi
budaya yang melestarikan korupsi praktek korupsi di Indonesia yang begitu marak dan subur. Hal
ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan
a.
Pendekatan Pendidikan melalui penanaman nilai anti
korupsi kepada anak didik sejak dini sehingga mereka memahami bahwa korupsi itu
bertentangan dengan norma hukum dan norma agama. Penambahan kurikulum tentang korupsi di sekolah-sekolah
dan perguruan tinggi, mondorong akedemisi untuk lebih
giat melakukan penelitian tentang
korupsi,
serta memberikan pemahaman kepada masyarakat lewat kegiatan pendidikan non formal seperti seminar dan pelatihan.
b. Pendekatan
keagamaan, lewat penyadaran mentalitas keagamaan tiap individu dengan mendorong
para tokoh dan lembaga agama untuk mengeluarkan fatwa tentang korupsi dan
sanksi moral bagi pelaku korupsi serta mendorong setiap pemeluk agama untuk menghayati
ajaran agamanya, membersihkan organisasi kemasyarakatan Islam dan institusi
keagamaan dari unsur-unsur dan praktik korupsi, serta proses penyadaran melalui
majelis taklim, khutbah jumat, dan momentum hari-hari besar Islam mengenai
bahaya korupsi.
c. Pendekatan
sosio-kultural dengan menghidupkan kembali gerakan sosial anti korupsi yang
pernah menjadi identitas bangsa dimulai
dari tingkatan RT/RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga pusat. Memberantas budaya hadiah, yang dalam prakteknya telah mengalami reduksi makna
dan penyimpangan konteks yang dimaksud oleh konsep hadiah
itu sendiri. Mengikis budaya instan yang menginginkan segala sesuatu diraih
dengan serba singkat dan tanpa kerja keras serta mengesampingkan
etos kerja yang berakibat pada pelanggaran aturan yang telah menjadi
ketentuan. Mengikis budaya permisif,
hedonistik, materialistis, dimana perilaku-perilaku tersebut telah
menghilangkan idealisme dalam menegakan nilai kebenaran, sehingga parameter
yang digunakan bersandar pada kenikmatan duniawi dan pelakunya terdorong untuk
melakukan penyimpangan atau koruptif agar keinginannnya terpenuhi, serta yang
terakhir, perlunya membangun budaya
kritis pada masyarakat sehingga tidak memberi ruang bagi lahirnya praktik
korupsi dan dengan demikian orang akan berfikir panjang untuk melakukan korupsi
karena masyarakat akan bersikap kritis dan menuntut akuntabilitas terhadap
jabatan yang di embannya[13].
Akhirnya, semoga apa yang kita cita-cita
dan usahakan mendapatkan bantuan dan pertolongan dari Allah SWT. Sehingga
kedepannya impian kita agar Indonesia menjadi sebuah negara yang bersih dan
bebas dari korupsi terwujud. Amien ya Rabbal alamin..
[1]
“Korupsi” Ensiklopedi Bebas
Wikipedia; http://id.wikipedia.org. (diakses 12
November 2011).
[2]Rianto, S Bibit; Koruptor
Go To Hell, Mengupas Anatomi Korupsi di Indonesia; PT Mizan Publika;
Bandung; 2009; Hal. 29.
[3] Sarmadi. A
Sukris; Paradigma Tindak Pidana Korupsi, Studi UU Korupsi; Pustaka
Prisma; Yogyakarta: 2007; Hal. 5.
[4] Sarmadi. A
Sukris; Paradigma Tindak Pidana Korupsi, Studi UU Korupsi; Hal. 21.
[5]
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tim Kerja Gerakan Nasional
Pemberantaran Korupsi PBNU, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan; Koruptor
Itu Kafir; PT Mizan Publika; Bandung; 2010; Hal. 17.
[6]
At-Thabari, Abu Ja`far Muhammad; Jamiul Bayan fi Ta`wil al-Qur`an; Mauqi
Majma Malik Fahd; Makkah al-Mukarramah; 2000; Hal. 95.
[7]
Al-Barabbasi, Nasiruddin; Kisah Kisah Islam Anti Korupsi; PT Mizan
Publika; Bandung; 2009; hal. 58.
[8] Rianto, S Bibit; Koruptor
Go To Hell, Mengupas Anatomi Korupsi di Indonesia; Hal.47 .
[9]Rianto, S Bibit; Koruptor
Go To Hell, Mengupas Anatomi Korupsi di Indonesia; Hal. 73-145.
[10] “Sektor Perizinan Usaha Rawan
Korupsi”; http://www.republika.co.id; (diakses 12 November 2011).
[11]
“Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia” http://www.setneg.go.id
; (diakses 12 November 2011).
[12] Majelis Tarjih
dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantaran Korupsi
PBNU, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan; Koruptor Itu Kafir;
Hal.55 .
[13] Majelis Tarjih
dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantaran Korupsi
PBNU, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan; Koruptor Itu Kafir;
Hal.51 .