Islam dan Korupsi Di Indonesia Dewasa Ini





I.         Pendahuluan
Dalam kehidupan suatu masyarakat atau suatu bangsa, akan terdapat sebuah sistem kepemerintahan yang bertugas dan berwenang untuk mengatur urusan suatu bangsa atau masyarakat tersebut, dalam praktek dan kenyataannya, seringkali kita mendapati suatu kondisi dimana terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan atau aturan yang mengakibatkan terjadinya kerugian baik bagi perseorangan maupun secara kolektif dalam tataran minimal maupun massif.
Penyalahgunaan dan penyimpangan yang terjadi tersebut adalah suatu kejahatan yang sekarang populer dengan istilah korupsi. Korupsi sendiri secara etimologis berasal dari kata corruptus yang berarti menghancurkan atau benda yang hancur. Dalam konsepnya, korupsi adalah suatu bentuk penyimpangan dari etika, moral, tradisi, hukum dan kebaikan umum[1].
Dalam perkembangan beberapa dasawarsa ini korupsi tak lagi dianggap sebagai sebuah mismanagement sebagaimana terjadi pada era pemerintahan orde baru, ia telah dianggap sebagai salah satu kejahatan maha besar sehingga dimasukkan dalam kelompok ekstaordinary crime yang berarti ia memiliki kedudukan yang sama dengan terorisme. Anggapan ini sangat wajar jika kita dasarkan pada besarnya daya rusaknya korupsi, dimana ia tidak sekadar menimbulkan kerugian keuangan negara yang mencapai angka triliunan rupiah, tetapi lebih jauh dari itu, ia ikut menghancurkan sumber daya yang terkait dengan kemanusiaan, sosial dan alam. Ia juga merusak tatanan sistem demokrasi, dan mendelegitimasi terwujudnya supremasi hukum.
Jika kita ingin menilik dan mengurai gunung es korupsi maka paling tidak kita akan menemukan lima jenis masalah penyebab korupsi yaitu (1) buruknya sistem (2) lemahnya pengawasan  (3) minimnya kesejahteraan dan (4) integritas pegawai pemilik kewenangan serta (5) kurangnya budaya taat hukum[2].
Sebagai sebuah negara yang memiliki potensi kekayaan alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang sebenarnya mempunyai daya saing jika dikelola dengan baik dan benar, Indonesia sesungguhnya memiliki segala syarat dan prasyarat untuk menjadi sebuah negara yang besar dan kuat. Namun, dalam kenyataannya Indonesia justru terpuruk di dalam jurang degradasi, baik dari segi ekonomi, politik, hukum, moral bahkan lingkungan.
Ini bisa kita mafhumi adanya, dengan melihat bagaimana sistem politik dan hukum yang ada dan kita terapkan sekarang. Potensi masalah penyebab korupsi dalam konteks kesisteman dinegeri ini bisa muncul dan terjadi akibat dari buruknya sistem politik yang kita miliki yang sarat dengan money politics, dan ujung-ujungnya menghasilkan pemimpin yang buruk.
Dalam ranah hukum, korupsi terjadi karena pengawasan yang begitu lemah, aturan dan perundang-undangan yang tumpang tindih. Sedangkan diranah publik rendahnya remunerasi bagi pegawai, karyawan dan buruh di instansi pemerintahan maupun swasta, serta tingginya disparitas antara pendapatan dan peredaran uang dilingkungan dimana seseorang bekerja akan menjadi bibit dan menumbuh suburkan munculnya sikap dan perilaku korupsi.
Selain karena faktor sistem, korupsi juga adalah sebuah realitas psikokultural ia menjadi fenomena sosial yang tak terbantahkan dan ada disekitar kita. Ia menjadi sebuah fakta, karena keberadaan tindakan korupsi yang telah begitu mengakar dan mendarah daging dalam realitas psikologis masyarakat kita.
Sebagai sebuah realitas psikokultural. Ia memiliki akar psikologis dan kulturan mendalam. Dalam tataran sosial ada sebuah fenomena sosial psikologis yang memungkinkan seseorang untuk melakukan korupsi yang bertentangan dengan aturan hukum maupun norma agama, Disini kita akan dapat mengerti mengapa Indonesia, negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, justru menjadi negara terkorup no 3 di dunia[3].


II.       Islam dan Kejahatan Korupsi
a.      Korupsi Dalam Perspektif Normatif Islam
  Dalam khazanah Islam kita memang tidak akan menemukan definisi dan pembahasan khusus tentang korupsi,  ini disebabkan karena korupsi merupakan istilah modern  yang baru saja digunakan pada abad milenium ini. kendati demikian lantaran kenyataan bahwa korupsi merupakan sebuah kata yang mengacu pada beberapa praktik kecurangan dalam transaksi antar manusia, kata itu dapat dilacak perbandingannya dalam beberapa ungkapan tindakan curang yang dilarang dalam Islam.
Untuk mengindentifikasi beberapa bentuk ekspresi korupsi yang disebutkan dalam kitab fiqih klasik, terlebih dahulu harus diketahui secara persis unsur-unsur korupsi. Oleh karena itu, merujuk pada pengertian tindak pidana korupsi dalam hukum negara Indonesia  Kita bisa menemukan  unsur-unsur korupsi, seperti yang tercantum dalam UU No. 31 Tahun 1999 pada pasal 2 adalah sebagai berikut
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan Memperkaya Diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara”[4].
Berarti secara normatif dapat kita pahami bahwa korupsi memiliki tiga unsur utama sebagai sebuah tindak pidana korupsi berupa tindakan melawan hukum,  dengan tujuan memperkaya diri sendiri, dan hal tersebut merugikan keuangan negara.
Namun definisi melawan hukum seperti yang tercantum dalam undang-undang tersebut diatas menurut pandangan dari GNPK (gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi)-PP Muhammadiyah masih memberikan peluang terjadinya korupsi manakala hukum yang dilegalkan merupakan hasil dari upaya manipulatif dan culas sehingga menghasilkan hukum koruptif. Oleh karena itu menurut mereka, definisi yang diajukan harus lebih umum dan mencakup dengan tidak membatasi pada melawan hukum dan merugikan negara saja. Maka definisi korupsi yang sesungguhnya adalah tindakan yang bertentangan dengan norma masyarakat, agama,moral dan hukum dengan tujuan memperkaya diri atau orang lain atau korporasi yang mengakibatkan rusaknya tatanan yang sudah disepakati yang berakibat pada hilangnya hak-hak orang lain, korporasi atau negara yang semestinya diperoleh[5].
Bentuk-bentuk korupsi sebagaimana definisi terakhir ini dapat kita jumpai ungkapannya dalam beberapa konsep-konsep ajaran Islam maupun dalam aturan normatif hukum fiqih. Beberapa istilah yang mengandung unsur korupsi tersebut  adalah : ghulul (kecurangan), risywah (suap), ghasab (merampas), dan sariqah (mencuri). Yang mana aturan normatif fiqih dalam khazanah klasik telah sebegitu terang dan jelas menguraikan keharaman dan kemudharatannya serta sanksi yang berat bagi tiap-tiap pelakunya.   
Dalam Islam kejujuran merupakan salah satu sifat mulia yang menjadi tujuan diturunkannya Islam ke bumi. Dalam al-Qur`an sendiri kita sering menjumpai ayat yang memerintahkan kita untuk bersifat jujur, benar dan adil firmannya  :
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Maidah 5: 8).
Ayat ini memerintahkan kepada kita semua untuk berlaku jujur dan adil dalam setiap perilaku dan keputusan yang kita ambil, terlepas dari yang di beri putusan orang yang dekat atau malah lawan politik kita[6].
Rasulullah sendiri selain mempraktekkan kejujuran dalam kesehariannya seringkali mengingatkan ummatnya untuk berlaku jujur dalam setiap hal :
“Berlaku jujurlah kalian, sebab jujur mengarahkan kita kepada kebaikan, dan kebaikan mengantar kita kesyurga, tiada henti-hentinya seseorang berbuat jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang ahli kejujuran. Hindarilah olehmu sifat dusta, sebab dusta mengajak kita kepada kekejian, dan kekejian mengantar kita ke neraka, tiada henti-hentinya seseorang melakukan kedustaan hingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Abi Dawud, dan Tirmidzi dari Ibn Mas`ud).
Kejujuran telah pula di teladankan oleh para sahabat rasul dan khulafaurrasyidin sesudahnya. Dikisahkan suatu ketika Utsman ibn Affan sedang beristiraht dirumahnya dalam cuaca yang sangat panas sampai unta pun terpaksa berteduh dibawah bayangan masjid. Tidak lama kemudian datanglah seorang pria paro baya terhuyung-huyung menutupi mukanya. Tanpa menghiraukan hamburan debu, orang itu berlari menembus tengah hari yang panasnya mengeringkan semak belukar.
Utsman ibn Affan mengintai dari jendela rumahnya. Dia heran, siapa lelaki yang menantang matahari sementara di jalan tak seorang pun yangh keluar karena terik matahari. Tidak berapa lama lelaki tersebut muncul kembali dengan menuntun seekor sapi. Utsman pun penasaran dan mencoba memanggil lelaki tersebut.
Manakala lelaki itu mendekat, terkejutlah Utsman karena lelaki tersebut tidak lain adalah sayyidina Umar khalifah waktu itu. Dengan serta merta Utsman bertanya, “ Darimana engkau, wahai amirul mukminin ?”
Umar menjawab, “ Engkau lihat sendiri bukan aku sedang menyeret sapi.”
“Milik siapa itu ?” Tanya Utsman tambah terkejut, sebab Utsman tahu bahwa Umar bukan tipe orang yang bersedia berpayah-payah dan risau dalam urusan harta pribadinya.
“Ini salah satu sapi sedekah kepunyaan anak-anak yatim yang terlepas dari kandangnya dan lari kejalan raya. Aku kejar dan sekarang aku tangkap kembali.”
Utsman tersentak, “Bukankah ada orang lain yang dapat melakukan pekerjaan itu ? bukankah engkau seorang khalifah”. Tanyanya lagi.
“Siapakah yang bersedia menebus dosaku di hari perhitungan kelak ? Maukah orang itu memikul tanggung jawabku dihadapan tuhan ? Kekuasaan adalah amanah saudaraku, bukan kehormatan”. Jawab Umar dengan tegas.
Utsman kemudian menyarakan sahabatnya tersebut beristirahat dulu sebentar dirumahnya sambil menunggu cuaca agak redup. Umar hanya menjawab, “Kembalilah ke tempat bernaungmu, saudaraku, biarlah kuselesaikan kewajibanku.”
Dengan terseok-seok, Umar melanjutkan perjalanannya menuntut sapi tersebut diikuti tatapan mata Ustman yang telah membasah. Ustman menggumam, “Engkau merupakan cermin bagaimana seharusnya seorang pemimpin berbuat, dan hal itu pasti akan membuat berat para khalifah sesudahmu.[7]



b.   Korupsi dalam Konteks Sistemik Birokrasi
Dalam bukunya  yang berjudul Koruptor Go to Hell (2009) Bibit Samad Rianto mengatakan bahwa korupsi bisa muncul akibat adanya empat faktor  yang menjadi potensi korupsi. Atau yang kemudian disebutnya sebagai empat jenis kerawanan (hazard) berupa : (1) lokasi (location hazard), manusia (human hazard), aset (material hazard), dan kegiatan (activity hazard)[8].
Lokasi (location hazard) rawan merujuk kepada sesuatu yang berhubungan dengan keuangan negara seperti tempat keluar masuknya uang negara serta lokasi dimana terdapat disparitas penghasilan petugas dengan peredaran keuangan. Pada lokasi rawan ini biasanya terdapat dua kepentingan yang bersifat simbiosis mutualisme antara “ orang dalam” dengan “orang luar” yang memiliki kepentingan bersama yaitu mengambil keuntungan dari situasi.
Human hazard adalah situasi seseorang yang memiliki potensi melakukan korupsi,  Material hazard berupa aset  negara (inventaris kantor, rumah dinas, fasilitas dinas, lahan atau tanah milik negara, hutan, kekayaan alam, dan sebagainya) yang seharusnya dijaga agar tidak beralih tangan secara tidak legal atau agar tidak dikelola secara sembarangan, bahkan  sampai melawan hukum. Begitu juga dengan aset masyarakat yang disita oleh aparat penegak hukum  atau petugas pemerintah yang tidak boleh rusak, hilang, atau digelapkan.
Activity hazard adalah kegiatan-kegiatan yang rawan korupsi dalam pelaksanaannya, misalnya kegiatan pengadaan barang dan jasa, kegiatan proyek atau pembangunan, kegiatan perizinan atau pelayanan publik, kegiatan penegakan hukum dan kegiatan aparatur pemerintah.
Secara garis besar sejumlah sumber-sumber kerawanan korupsi di dalam sistem pemerintahan di Indonesia diantaranya[9] :
1.      Pada pemasukan dan pengeluaran uang negara yang biasanya terdapat pada sektor perpajakan, dan pada BUMD dan BUMN. Di bidang pengeluaran kerugian negara biasanya terjadi pada penentuan harga yang lebih tinggi dari seharusnya (mark up), fee atas jasa penggolan suatu proyek yang sudah di atur siapa pemenangnya dan pertanggung jawaban fiktif.
2.      Lokasi yang terdapat disparitas antara penghasilan dan peredaran uang, lokasi ini biasanya terdapat pada bidang pengeluaran izin pertambangan, energi, kehutanan, transportasi massal yang memiliki omset besar di mana para pegawai pembuat kebijakan dan perizinan justru mendapatkan upah atau gaji yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan beban kerja yang mereka pikul.
3.      Pemilihan pejabat publik, saat ini kita telah terbiasa dengan praktek money politics dalam sistem perpolitikan dan pemilihan pejabat publik kepala daerah seperti gubernur dan bupati, konstituen menuntut sang calon gubernur atau bupati untuk memberikan bantuan material sebagai uang muka bagi suara mereka, belum lagi beban yang di berikan oleh partai politik yang menjadi kendaraan politik yang mensyaratkan pungutan rutin tiap bulan yang membuat sang kepala daerah mencari jalan dengan menggerogoti uang negara untuk mengembalikan modal dan menunaikan kewajibannya terhadap partai politik pendukungnya.
4.      Pengadaan barang dan jasa korupsi, dibidang ini rawan terjadi menyangkut penentuan spesifikasi barang yang dikompromikan, penambahan anggaran, manipulasi tender, serta pengurangan kuantitas dan kualitas barang yang di adakan.
5.      Pelayanan publik, jasa perizinan dan retribusi, dibidang ini biasanya terdapat pungutan-pungutan liar yang tidak memiliki legalitas hukum dan akan sangat memberatkan bagi masyarakat umum yang ingin mengurus urusan “dapur” mereka, seperti pembuatan KTP, akta kelahiran, surat nikah dan kartu keluarga[10].
6.      Penerimaan aparatur negara yang kerap diwarnai dengan praktek korupsi dan kolusi, banyaknya calo, kurangnya transparansi dalam proses penerimaan, dan rumitnya prosedur menjadi sumber korupsi pada penerimaan aparatur negara yang baru.
c.       Penutup
Di atas telah kita pahami bersama bahwa perilaku dan budaya korupsi muncul dari beberapa macam faktor, namun jika kita telaah lebih mendalam, secara seksama kita akan menemukan dua poin utama dari beberapa penyebab tersebut, yang pertama tidak adanya sistem yang kuat yang bisa membentengi para pegawai untuk mencegah mereka melakukan korupsi dan yang kedua kurangnya kesadaran individu pada ketaatan akan hukum dan norma-norma agama yang di sebabkan telah terbudayanya perilaku korupsi tersebut.
Dua langkah utama yang menjadi poin strategis bagi upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yang harus segera kita lakukan agar korupsi tidak terus menerus menjadi benalu yang menghambat bagi kemajuan dan pembangunan masyarakat dan bangsa adalah:
Poin yang pertama upaya sinergis pemerintah dari seluruh jajaran yang dikomandoi oleh kepala negara untuk bersama-sama menanggulangi korupsi, melalui :
a.       Pendekatan hukum dan politik dengan pelaksanaan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu. Disini diperlukan kebijakan pemerintah yang berani dan serius guna melawan korupsi, perbaikan  sistem hukum yang lemah dan masih memberi ruang bagi pelaku korupsi untuk menghindari jerat hukum, memberantas mafia peradilan, dan makelar kasus (markus) serta penguatan peraturan dan perundang undangan dan perekrutan aparatur hukum yang memiliki integritas moral yang kuat.
b.      Memilih pemimpin yang bersih. Salah satu syarat untuk menghilangkan korupsi dalam kehidupan masyarakat adalah memilih pemimpin yang bersih. Karena seorang pemimpin sangat menentukan baik buruknya suatu bangsa. Pemimpin yang bersih dan berwibawa akan menjadi panutan masyarakat. Dengan memilih pemimpin yang bersih akan mewujudkan kehidupan yang makmur dan sejahtera dan bebas dari korupsi. 
c.       Perbaikan upah sebagai upaya peningkatan kesejahteraan bagi  para pegawai, karyawan, buruh yang dalam hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemimpin perusahaan untuk berupaya menyesuaikan gaji karyawan dan buruh agar berada pada tingkatan yang wajar. Selain penetapan gaji yang proporsional, aspek perlindungan hukum, kesehatan dan pendidkan bagi keluarga atau karyawan, serta jaminan hidup pasca pensiun perlu menjadi perhatian serius bagi semua perusahaan, birokrasi pemerintah, maupun lembaga swasta. Hal tersebut akan membuat karyawan, pegawai, buruh, dapat bekerja dengan sepenuh hati lantaran ia dapat menggantungkan hidupnya dari lembaga tempat mereka bekerja.
d.      Reformasi birokrasi, yang diprioritaskan bagi lembaga yang mengelola keuangan, lembaga yang menangani pemeriksaan keuangan dan penertiban aparatur dan lembaga/aparat penegakan hukum. beberapa tahapan yang harus  dilalui dalam pelaksanaan reformasi birokrasi adalah (1) melakukan analisis jabatan dan evaluasi jabatan dimana di dalamnya terdapat banyak kegiatan mulai dari penyusunan peta jabatan, job description, spesifikasi jabatan, pengukuran beban kerja, klasifikasi jabatan, dan persyaratan/kompetensi jabatan (2) penyusunan Standard Operating Procedure (SOP) yang lebih efisien dan efektif dengan mengoptimalkan teknologi informasi dan komunikasi; (3) penilaian status dan kebutuhan SDM; (4) selain hal tersebut, sistem pelayanan administrasi satu atap secara lebih efektif dan efesien sangat mendesak untuk diwjudkan disemua level birokrasi pemerintahan. Karena dapat menyingkat waktu dan membuat murah biaya pengurusan surat menyurat dan perijinan[11].
e.       Pemberlakuan sistem reward and punihsment (imbalan dan hukuman) sebagai upaya pembentukan etos kerja yang dibuat berhubugan dengan imbalan dan sanksi. Pembetukan kebiasaan moral itu akan terbentuk bila timbul opini secara publik bahwa ikhtiar melakukan perbuatan yang benar dan adil adalah tindakan yang mendapat imbalan sosial dan politik, sedangkan tindakan menyembunyikan atau turut dalam kejahatan akan mendapatkan hukuman dan sanksi secara publik. Sistem ini sangat penting dalam birokrasi lantaran dapat menjamin bahwa aparatur yang memiliki prestasi yang baik akan mendapatkan promosi karier lebih cepat. Sementara itu, aparatur yang tidak memiliki kinerja yang bagus atau melakukan kesalahan administratif ataupun koruptif akan mendapatkan hukuman berupa sanksi administratif maupun sanksi pidana[12].
Poin yang kedua adalah dekonstruksi budaya yang melestarikan korupsi praktek korupsi di Indonesia yang begitu marak dan subur. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan
a.       Pendekatan Pendidikan melalui penanaman nilai anti korupsi kepada anak didik sejak dini sehingga mereka memahami bahwa korupsi itu bertentangan dengan norma hukum dan norma agama. Penambahan kurikulum tentang korupsi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, mondorong akedemisi untuk lebih giat melakukan penelitian tentang korupsi, serta memberikan pemahaman kepada masyarakat lewat kegiatan pendidikan non formal seperti seminar dan pelatihan.
b.      Pendekatan keagamaan, lewat penyadaran mentalitas keagamaan tiap individu dengan mendorong para tokoh dan lembaga agama untuk mengeluarkan fatwa tentang korupsi dan sanksi moral bagi pelaku korupsi serta mendorong setiap pemeluk agama untuk menghayati ajaran agamanya, membersihkan organisasi kemasyarakatan Islam dan institusi keagamaan dari unsur-unsur dan praktik korupsi, serta proses penyadaran melalui majelis taklim, khutbah jumat, dan momentum hari-hari besar Islam mengenai bahaya korupsi.
c.       Pendekatan sosio-kultural dengan menghidupkan kembali gerakan sosial anti korupsi yang pernah menjadi identitas bangsa  dimulai dari tingkatan RT/RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga pusat. Memberantas budaya hadiah, yang dalam prakteknya telah mengalami reduksi makna dan penyimpangan konteks yang dimaksud oleh konsep hadiah itu sendiri. Mengikis budaya instan yang menginginkan segala sesuatu diraih dengan serba singkat dan tanpa kerja keras serta  mengesampingkan etos kerja yang berakibat pada pelanggaran aturan yang telah menjadi ketentuan.  Mengikis budaya permisif, hedonistik, materialistis, dimana perilaku-perilaku tersebut telah menghilangkan idealisme dalam menegakan nilai kebenaran, sehingga parameter yang digunakan bersandar pada kenikmatan duniawi dan pelakunya terdorong untuk melakukan penyimpangan atau koruptif agar keinginannnya terpenuhi, serta yang terakhir,  perlunya membangun budaya kritis pada masyarakat sehingga tidak memberi ruang bagi lahirnya praktik korupsi dan dengan demikian orang akan berfikir panjang untuk melakukan korupsi karena masyarakat akan bersikap kritis dan menuntut akuntabilitas terhadap jabatan yang di embannya[13].
Akhirnya, semoga apa yang kita cita-cita dan usahakan mendapatkan bantuan dan pertolongan dari Allah SWT. Sehingga kedepannya impian kita agar Indonesia menjadi sebuah negara yang bersih dan bebas dari korupsi terwujud. Amien ya Rabbal alamin..




[1] “Korupsi”  Ensiklopedi Bebas Wikipedia;  http://id.wikipedia.org. (diakses 12 November 2011).
[2]Rianto, S Bibit; Koruptor Go To Hell, Mengupas Anatomi Korupsi di Indonesia; PT Mizan Publika; Bandung; 2009; Hal. 29.
[3] Sarmadi. A Sukris; Paradigma Tindak Pidana Korupsi, Studi UU Korupsi; Pustaka Prisma; Yogyakarta: 2007; Hal. 5.
[4] Sarmadi. A Sukris; Paradigma Tindak Pidana Korupsi, Studi UU Korupsi; Hal. 21.
[5] Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantaran Korupsi PBNU, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan; Koruptor Itu Kafir; PT Mizan Publika; Bandung; 2010; Hal. 17.
[6] At-Thabari, Abu Ja`far Muhammad; Jamiul Bayan fi Ta`wil al-Qur`an; Mauqi Majma Malik Fahd; Makkah al-Mukarramah; 2000; Hal. 95. 
[7] Al-Barabbasi, Nasiruddin; Kisah Kisah Islam Anti Korupsi; PT Mizan Publika; Bandung; 2009; hal. 58.
[8] Rianto, S Bibit; Koruptor Go To Hell, Mengupas Anatomi Korupsi di Indonesia;  Hal.47 .
[9]Rianto, S Bibit; Koruptor Go To Hell, Mengupas Anatomi Korupsi di Indonesia; Hal. 73-145.
[10] “Sektor Perizinan Usaha Rawan Korupsi”;  http://www.republika.co.id; (diakses  12 November 2011).
[11] “Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia” http://www.setneg.go.id ; (diakses 12 November 2011).
[12] Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantaran Korupsi PBNU, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan; Koruptor Itu Kafir; Hal.55 .

[13] Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantaran Korupsi PBNU, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan; Koruptor Itu Kafir; Hal.51 .

Theme images by loops7. Powered by Blogger.