Konsep Wali Menurut Syaikh Abdul Wahid (Telaah Atas Kitab Shautul Hidayah)



Hasil gambar untuk wali allah



Konsep Wali Menurut Syaikh Abdul Wahid
(Telaah Atas Kitab Shautul Hidayah)

OLEH:
AKHMAD NAZIRIN
NIM : 1402511292

                    


                                                                                                  




PASCA SARJANA (PROGRAM MAGISTER)
PRODI AKHLAK TASAWUF
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
2015

A.    Latar Belakang Masalah

Sufisme pada tahap awal yang dimotori hasan al-bashri bisa dikatakan sebagai bentuk perlawanan terhadap kehidupan para penguasa yang cenderung hedonis. Karena itulah muncul ajaran zuhd dengan orientasi meninggalkan kehidupan duniawi disertai dengan perasaan takut (khauf) akan murka Allah dan mengaharapkan (raja’) pengampunan dari-Nya.
Dalam pekembangan selanjutnya muncullah rabi’ah al-adhawiyah yang terkenal dengan jargonnya “tasawuf cinta”, menurutnya motivasi ibadah seseorang haruslah berdasarkan cinta semata, bukan mengharapkan yang lain. “Cinta” ini menurut Ma’ruf al-Karkhi harus dikembangkan sampai kepada tahap tuma’ninah (ketenangan). tuma’ninah ini hanya akan dirasakan oleh pecinta yang dikenal (makrifah) oleh orang yang dicintainya. Lebuh lanjut, Haris al-Muhasibi mengembangkan pemikiran al-Karkhi sampai kepada ittihad (persatuan). Ia berpendeapat bahwa hanya kenal saja (kepada Allah) masih belum cukup sampai ia merasakan bersatu dengan yang dicintainya. Pada sisi yang lain, al-muhasibi juga terpengaruh pemikiran Dzu al-Nun al-Mishri tentang cinta dan pengenalan terhadap tuhan (makrifah). Dan Pandangan Dzu al-Nun al-Mishri juga telah mempengaruhi pemikiran para sufi yang belakangan seperti Husain ibn Manshur al-Hallaj dan Ibn Arabi. Yang menarik bahwa semua tujuan yang ingin dicapai para sufi dengan berbagai macam teori yang berkembang pada saat itu pada intinya ialah mencapai makrifah (pengetahuan yang sejati tentang hakikat ketuhanan). Hal ini berdasarkan kepada ayat al-qur’an yang berbunyi:

ÙˆَÙ…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتُ الْجِÙ†َّ Ùˆَالإنْسَ Ø¥ِلا Ù„ِÙŠَعْبُدُونِ (٥٦)
dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(Q.S. al-Dzariyat: 56)
Menurut Ibn Abbas, illa liya’budun maksudnya adalah illa liya’rifun (kecuali untuk bermakrifat).
Sebagaimana yang dinyatakan al-Ghazali di dalam kitab Ihya Ulum al-Din, bahwa makrifah merupakan proses penyingkapan yang hanya mungkin terjadi secara langsung di dalam kalbu/ hati. kalbu yang dikehendaki dalam terminologi al-Ghazali bukanlah kalbu dalam pengertian segumpal darah yang terletak dibagian dada sebelah kiri. tetapi yang dimaksud kalbu disini adalah sesuatu yang halus, bersifat ketuhanan dan ruhani. Kalbu ibarat sebuah cermin, sedangkan ilmu sebagai pantulan gambar realitas yang termuat didalamnya. Jika hati itu kotor, maka ia tidak akan mampu memperlihatkan realitas-realitas ilmu. bagaimana cara supaya hati itu bersih? Menurut al-Ghazali hati hanya akan bersih dengan jalan melakukan ketaatan kepada Allah dan menguasai hawa nafsu.[1]
Makrifah tertinggi adalah makrifah yang dimiliki oleh orang-orang muqarrabin. Pada tingkatan ini ia berbeda dari makrifah yang dimiliki oleh para filosof maupun orang awam. orang yang telah mencapai tingkat muqarrabin  ini secara akan dianugerahi kasyaf oleh Allah. Kasyaf merupakan buah dari ibadah yang terus menerus dan menghiasi hati yang selalu mengingat Allah. Seorang sufi yang telah bersih hatinya akan dengan mudah menerima kasyaf dari Allah. dan orang yang mencapai tingkatan kasyaf ini disebut juga dengan “Wali
Pada perkembangan selanjutnya, banyak orang-orang yang juga ingin mencapai derajat kewalian ini. Para Syaikh sufi kemudian membuat tarekat-tarekat sebagai sarana untuk membimbing para murid mencapai derajat kewalian ini. Menurut para sufi, tidak akan mencapai derajat kewalian orang yang tidak mengikuti jalan tarekat.[2]
Pembicaraan mengenai wali ini menurut Rahman telah dimulai dikembangkan sejak dikenalnya konsep fana dalam tradisi sufisme. Istilah wali (sahabat tuhan) merujuk kepada istilah dari al-Qur’an, tetapi dengan ciri khas para sufi. Pada saat itu muncul permasalahan antara hubungan kenabian dengan kewalian, dan hubungan wali dengan nabi. Konsep kewalian sufisme melihat melihat adanya garis yang sejajar dengan kenabian, hal ini sudah tampak nyata pada abad ke-3 H/ 9 M oleh Sufi al-Hakim al-Tirmidzi (258 H/ 898 M), ketika ide penutup para wali dikemukakan, yang berkontradiksi dengan penutup para nabi.
Di tengah masyarakat Indonesia, secara khusus masyarakat Kalimantan selatan, istilah wali merupakan suatu yang tidak asing lagi, sering disebuah pengajian diadakan pembacaan manakib/hagiografi orang-orang yang dianggap wali. Bahkan banyak orang-orang menyatakan bahwa si fulan adalah wali. Perlu diketahui bahwa proses mendapatkan gelar wali tidaklah semudah kita mengucapkannya. Banyak hal yang harus diperhatikan sebelum memvonis seseorang sebagai seorang wali.
Dengan proses belajar dan pengalaman yang telah dilalui, dalam kitab shautul hidayah (صوت الهداية), Syaikh Abdul Wahid mencoba memaparkan bagaimana proses yang harus ditempuh seseorang dalam usahanya untuk mencapai tingkat kewalian.
dari uraian mengenai wali ini, penulis tertarik untuk melakukan kajian terhadap pemikiran Syaikh abdul Wahid mengenai wali dalam kitab shutul hidayah dengan judul penelitian “Konsep Wali Menurut Syaikh Abdul Wahid (Telaah Atas Kitab Shautul Hidayah)”
B.     Rumusan Masalah
Dari judul penelitian ini mengandung pengertian bahwa penulis berusaha mengetahui  sebenarnya  tentang  konsep  kewalian dalam pandangan  Syaikh Abdul Wahid dalam kitab Shautul Hidayah. Untuk melihat  lebih  fokus maka,  rumusan masalah penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.  Bagaimana pengertian wali menurut Syaikh Abdul Wahid?
2.  Bagaimana ciri dan karakter wali dalam pandangan Syaikh abdul Wahid?
C.     Tujuan dan Kegunaan (signifikansi) Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan sebagai jawaban dari rumusan masalah di atas, yakni meneliti tentang konsep berkhadam dilakukan oleh para sufi. Yakni:  Pertama, Untuk mengetahui konsep wali menurut Syaikh Abdul Wahid. Kedua, Untuk  Mengetahui  ciri dan karakter wali dalam pandangan Syaikh abdul Wahid.
Adapun kegunaan penelitian ini dapat diuraikan dalam beberapa poin: Pertama, untuk memberikan pemahaman mendasar mengenai kewalian. Kedua, untuk menelusuri data-data faktual sehingga bisa memperkaya khazanah tasawuf dengan pemahaman yang lebih mendalam. Ketiga, untuk menyempurnakan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yang ada kaitannya dengan khadam. Keempat, untuk mengajukan argumentasi akademik bahwa kondisi sosial, kultural, tradisi, dan politik bisa mempengaruhi tingkah, sifat dan pribadi seseorang, serta Kelima, menciptakan tradisi ilmiah di lingkungan akademik, sehingga mampu memperluas khazanah keilmuan demi pengembangan wacana ilmu pengetahuan lebih lanjut secara kreatif, progresif, produktif, dan konstruktif.
D.    Kajian Terdahulu
Tinjauan pustaka ini dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana masalah ini pernah ditulis oleh orang lain sebelum penelitian ini dilakukan. Kemudian akan ditinjau apa yang ditulis, bagaimana pendekatan dan metode yang digunakan, apa ada persamaan dan perbedaan di antara tulisan sebelumnya dengan penelitian ini. Dengan tinjauan pustaka ini pula, penulis dapat menempatkan posisi dalam penelitian ini, untuk menghindari penelitian yang sama. 
Sejauh ini, dari hasil pelacakan yang dilakukan penulis dari perpustakaan didapati dua buah penelitian tesis yang berbicara masalah wali ini dalam tataran konsep, dan sebuah skripsi kajian kitab karya Syaikh Abdul Wahid mengenai konsep hadis maudhu’.
pertama tesis pada tahun 2007 dengan judul “konsep wali dan karamah dalam ajaran tasawuf al-Qusyairi (telaah atas kitab risalah al-Qusyairi)” oleh Anita yang pembicaraannya meliputi pengertian, karakter para wali dan karamah mereka dalam pandangan al-qusyairi.
Sedangkan yang kedua adalah tesis pada tahun 2003 dengan judul “Al-Walayah dalam pandangan Ibn Arabi dan Ibn Taimiyah” oleh Muhammad Rif’at, yang memperbandingkan antara konsep kewalian Ibn Arabi dalam pemikiran filsafat dan Ibn Taimiyah yang berada dalam koridor syariat.
Adapun kajian skirpsi mengenai Syaikh Abdul Wahid oleh M.Rifqi Habiby dalam penelitian tahun 2014 dengan judul Tadzikirah al-Lisan li Syaikh Abdul Wahid (Dirasah Manhaj al-Ta’lif)”, membahas masalah sistematika penulisan kitab tadzkirah al-Lisan yang memuat hadis-hadis dha’if yang berkembang dan masyhur dikalangan masyarakat.
sedangkan pada penelitian saya akan akan dibahas mengenai kewalian dalam pandangan Syaikh Abdul Wahid yang meliputi pengertian, proses mendapatkan kewalian, ciri dan karakter para wali yang didapat Syaikh Abdul Wahid dari belajar dan pengalaman beliau sewaktu menjalani kehidupan tasawuf. Dan semuanya tertuang dalam kitab Shautul HIdayah
E. Defenisi Istilah
Untuk menghindari terjadinya kesalah pahaman terhadap judul tesis yang berjudul “Konsep Wali Menurut Syaikh Abdul Wahid (Telaah Atas Kitab Shautul Hidayah)” maka penulis mendefinisikannya seperti berikut:
konsep merupakan ide, gagasan, penelitian yang diabstrakkan dari suatu peristiwa konkrit.[3]
Adapun Wali ialah seorang sufi yang dijadikan Allah sebagai kekasihnya karena kebersihan hatinya, dan senantiasa berbuat ketaatan dengan memperhatikan kewajiban dan menjauhi segala larangan-Nya.[4]
Syaikh Abdul Wahid adalah beliau seorang ulama yang sangat berpengaruh di Barabai. Nama lengkap beliau adalah H. Abdul Wahid ibn H. Anwar Zaini Beliau pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren dan majelis ta’lim Dar al-Hidayah di Kampung Qadi Barabai.
 Kitab Shautul Hidayah adalah sebuah kitab karya Syaikh Abdul Wahid yang ditulis berdasarkan pengalam esoterik beliau selama menjalani jalan para sufi atau tasawuf.
F.     Metode Penelitian
1.      Jenis Penelitian  
Secara tipologis, penelitian ini dengan melihat unsur-unsur penelitian yang digunakan, yaitu berupa bahan-bahan tekstual, seperti buku, jurnal, makalah, artikel, dan lainnya, maka penelitian tersebut mengikuti jenis telaah kepustakaan (library research).[5] Di sini, apabila dilihat pula dari subject matternya, penelitian ini termasuk tipologi penelitian deskiptif
Tujuan dari jenis penelitian deskriptif ini ialah untuk mengumpulkan, menyusun dan meringkas informasi tentang hal yang menjadi fokus penelitian. Deskripsi disini ialah untuk menggambarkan apa yang telah terjadi, atau bagaimana sesuatu terjadi, atau seperti apakah suatu peristiwa, orang atau kejadian itu.[6]
Dengan demikian, secara umum dapat diidentifikasi bahwa penelitian ini merupakan penelitian kualitatif[7] yang berupaya mengkaji hal ihwal kewalian yang terjadi di dalam dunia tasawuf secara utuh dan menyeluruh dalam perspektif Syaikh Abdul Wahid.
2.      Metode Pengumpulan Data
Secara garis besar, ada dua sumber yang digunakan dalam memperoleh data, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer memberikan data langsung dari sumber pertama berupa kitab tasawuf Shautul Hidayah karya Syaikh Abdul Wahid.
Sementara sumber-sumber sekunder, yakni karya-karya atau tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku, jurnal, makalah, maupun artikel, dari para pemikir lain yang membahas masalah kewalian seperti al-risalah karya al-qusyairi dan ihya ulum al-din karya al-ghazali. Selain itu, mengakses pula sumber-sumber lain yang memperbincangkan konsep-konsep wali yang relevan dengan persoalan yang dibahas untuk memperkaya wacana dan mempertajam analisis.


3.      Metode Pendekatan
Selanjutnya, penelitian ini diperkaya dengan pendekatan fenomenologi yang berusaha untuk memaparkan pemikiran tokoh yang di teliti secara apa adanya tanpa melakukan penilaian apriori yang bisa menimbulkan kesalah pahaman.
Dengan pendekatan fenomenologi kita dapat menguji cara bagaimana seseorang berhubungan dengan dunia tanpa mereduksi data obyektif dari pengalaman tersebut menjadi data yang dipersepsi oleh indra, atau membatasi wilayah pengetahuan yang benar dan bermakna hanya pada kerja-kerja pemahaman rasional belaka.[8]
Tidak bisa dipungkiri bahwa kewalian merupakan salah satu bagian dalam pemikiran tasawuf yang tercakup dalam pohon besar tradisi filsafat Islam. Pada konteks Syaikh Abdul Wahid, bisa dibilang beliau telah merumuskan pandangan-pandangan dan ijtihad sufisme beliau secara filosofis, dengan memberikan kerangka konseptual secara teoretis dan sistemik.[9]
4.      Metode Pengolahan Data
Sifat penelitian yang dilakukan adalah penelitian tekstual yang bertumpu pada pemahaman teks yang ada hubungannya dengan persoalan yang diteliti. Bahan-bahan tekstual tersebut kemudian dipaparkan dengan menggunakan metode  deskriptif-analisis.[10]
Jika metode deskriptif berusaha melukiskan penomena-penomena yang terjadi secara sistematis dan objektif, maka metode analisis berupaya melakukan telaah atau penganalisisan terhadap penomena tersebut dengan pendekatan filosofis secara mendalam.[11]
G.    Sistematika Penulisan
Penelitian ini diklasifikasikan dalam lima Bab yang disusun secara sistematis dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Bab I Pendahuluan. Lingkup uraian bab pendahuluan ini meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penegasan judul, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II memuat kerangka teoritis yang merupakan konsep dasar dari wali meliputi uraian tentang wali, sejarah perkembangan, tanda, dan beberapa pendapat ulama tentang wali.
Bab III menguraikan dan identifikasi naskah kitab yang menjadi objek kajian, yaitu kitab Shautul Hidayah. Di dalamnya di bahas mengenai biografi Syaikh Abdul Wahid, sebab penulisan, sistematika penulisan, dan kerangka konseptual pemikiran beliau.
Bab IV konsep wali menurut Syaikh Abdul Wahid, meliputi pengertian wali, ciri dan karakter wali dan proses untuk mencapai maqam kewalian.
Bab V analisis  terhadap paparan hasil pengumpulan data pada bab IV dan berakhir dengan diketahuinya pengertian wali dan karakter para wali menurut Syaikh Abdul Wahid.
Bab VI Kesimpulan dan Penutup. Bab terakhir ini akan menyajikan kesimpulan berupa jawaban-jawaban berdasarkan uraian dan temuan yang telah dipaparkan sebelumnya serta saran-saran untuk pengembangan penelitian lebih lanjut secara konstruktif.











Daftar Pustaka Sementara
A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: Rajawali Pres, 2002
Anton Bakker & Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat Yogyakarta: Kanisius, 1990
Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989
H. Abdul Waahid, Shautul Hidayah, Barabai: Dar al-Hidayah, tt
Hadari Nawawi & Mimi Martiwi, Penelitian Terapan, Yogyakarta: UGM Press, 1996
Jujun S. Suriasumantri, “Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Deden Ridwan (ed.), Bandung: Nuansa, 2001
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat, Yogyakarta: Paradigma, 2005
M. Abdul Mujieb, dkk, Ensiklopoedi Tasawuf Imam al-Ghazali, Jakarta: Hikmah, 2009
Masni Singarimbun, Metode Penelitian survey, Jakarta:LP3ES, 1989
Mujiburrahman, mengindonesiakan islam, yogyakarta pustaka pelajar, 2008
Noeng Muhdjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002
Sardar Ziauddin, Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Bandung; Mizan. 1996


[1]A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Rajawali Pres, 2002), cet. 2, h. 85
[2]H. Abdul Waahid, Shautul Hidayah, (Barabai: Dar al-Hidayah, tt), h. 74-75
[3]Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 520
[4]lihat M. Abdul Mujieb, dkk, Ensiklopoedi Tasawuf Imam al-Ghazali, (Jakarta: Hikmah, 2009), h.  567-568
[5]Masni Singarimbun, Metode Penelitian survey, (Jakarta:LP3ES, 1989), h. 45
[6]Sardar Ziauddin, Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Bandung; Mizan. 1996), h.  43
[7]Mengenai eksplorasi penelitian kualitatif secara detil dengan berbagai metodenya, lihat Noeng Muhdjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002)
[8]Mujiburrahman, mengindonesiakan islam, yogyakarta pustaka pelajar, 2008, h. 81
[9]Amin Abdullah dkk., Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), h. 60
[10]Sebuah penelitian dapat menerapkan berbagai metode, mengenai hal ini terdapat dalam), Anton Bakker & Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990); dan Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat (Yogyakarta: Paradigma, 2005).
[11]Hadari Nawawi & Mimi Martiwi, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: UGM Press, 1996), h. 73-74; Jenis penelitian analitik ini, lebih fungsional dalam pengembangan pengetahuan dan lebih efektif sebagai sarana edukatif bagi penelitian akademik. Lihat Jujun S. Suriasumantri, “Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Deden Ridwan (ed.), (Bandung: Nuansa, 2001), h. 83. 
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.    Tujuan dan Kegunaan (Signifikansi) Penelitian
D.    Kajian Terdahulu
E. Defenisi Istilah
F.     Metode Penelitian
1.      Jenis Penelitian  
2.      Metode Pengumpulan Data
3.      Metode Pendekatan
4.      Metode Pengolahan Data
G.    Sistematika Penulisan
BAB II KONSEP DASAR MENGENAI WALI
A.    Perkembangan Teori Wali
B.     Tanda-Tanda Kewalian
C.    Pendapat-Pendapat Tentang Wali
BAB III IDENTIFIKASI NASKAH KITAB SHAUTUL HIDAYAH KARYA SYAIKH ABDUL WAHID
A.    Biografi Syaikh Abdul Wahid
B.     Deskripsi Kitab Shautul Hidayah
C.    Kerangka Konseptual Syaikh Abdul Wahid
1.      Qalb (Hati)
2.      Ma’rifah
3.      Wahdah al-Syuhud
BAB IV KONSEP WALI MENURUT SYAIKH ABDUL WAHID
A.     Pengertian Wali Menurut Syaikh Abdul Wahid
B.     Ciri dan Karakter Wali
C.     Proses Mencapai Tahap Kewalian
BAB V ANALISIS
BAB VI PENUTUP DAN SARAN-SARAN
Theme images by loops7. Powered by Blogger.