Hubungan Masyarakat Dan Kebudayaan




HUBUNGAN MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

MAKALAH PENGANTAR ANTROLOPOLOGI



OLEH
RIJANI       NIM:1501421815
BAHRUDIN     NIM:1501421811




INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA BANJARMASIN
JURUSAN ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

2015

  1. PENDAHULUAN
Kebudayaan adalah segala hal yang dimiliki oleh manusia, yang hanya diperolehnya dengan belajar dan menggunakan akalnya. Manusia dapat berjalan karena kemampuan untuk berjalan itu didorong oleh nalurinya, dan terjadi secara alamiah. Tetapi berjalan seperti seorang prajuit atau sebagai seorang peragawati hanya dapat dilakukan dengan belajar dan menggunakan akalnya. Oleh karena itu berjalan seperti prajuit atau peragawati adalah “kebudayaan”[1].
Definisi kebudayaan adalah segala pikiran dan perilaku manusia yang secara fungsional dan disfungsional ditata dalam masyarakatnya.
Kata “disfungsional” tentu mengacu ke unsur “sampah” yang secara pasti dihasilkan oleh manusia ditempat manapun di dunia ia berada, berkaitan dengan semua unsur kebudayaannya. Penduduk Jakarta, misalnya, tiap hari memproduksi berton-ton sampah, yang kemudian ditumpuk diberbagai tempat pembuangan sampah terakhir[2].
Masyarakat dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata Latin socius,  berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka[3] yang berarti “ikut serta, berpartisipasi”.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul”,atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”. Manusia adalah jenis makhluk yang juga hidup dalam kelompok[4]. Pada manusia menjadi tingkah laku yang dijadikan milik diri dengan belajar (learned action). Agar ada suatu pembedaan yang tajam antara kelakuan binatang dan tingkah laku manusia dalam kehidupan berkelompok, sebaiknya diadakan pembedaan istilah juga. Kelakukan binatang dan kelakukan manusia yang prosesnya telah direncanakan dalam gennya dan merupakan milik dirinya tanpa belajar, seperti reflex, kelakuan naluri, dan kelakuan membabi buta, tetap kita sebut kelakuan (behavior). Sebaliknya, perilaku manusia yang prosesnya tidak terencana dalam gennya, tetapi yang harus dijadikan milik dirinya dengan belajar, kita sebut tindakan atau tingkah laku (action)[5].
Unsur-unsur masyarakat yaitu: kategori sosial, golongan sosial, komunitas, kelompok, dan perkumpulan.
Ikatan yang membuat suatu kesatuan manusia menjadi masyarakat adalah pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu. Lagipula, pola itu harus bersifat mantap dan kontinu; dengan perkataan lain, pola khas itu harus sudah menjadi adat istiadat yang khas.
Selain ikatan adat-istiadat khas yang meliputi sektor kehidupan dan kontinuitas waktu, warga suatu masyarakat harus juga mempunyai ciri lain, yaitu suatu rasa identitas bahwa mereka memang merupakan suatu kesatuan khusus yang berbeda dari kesatuan-kesatuan manusia lainnya.
Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Hampir seluruh tindakan manusia adalah “kebudayaan” karena hanya sedikit tndakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakukan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa dalam gen bersama kelahirannya (seperti makan, minum, atauberjalan dengan kedua kakinya), juga dirombak olehnya menjadi tindakan berkebudayaan.


  1. PEMBAHASAN
Semua konsep yang diperlukan apabila ingin menganalisis proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan, termasuk lapangan penelitian ilmu antropologi dan sosiologi yang disebut dinamika sosial (social dynamics). Diantara konsep-konsep yang terpenting ada mengenai proses belajar kebudayaan oleh warga masyarakat bersangkutan, yaitu internalisasi (internalization), sosialisasi (socialization), dan enkuiturasi (enculturation).
Proses perkembangan kebudayaan umat manusia pada umumnya dan bentuk-bentuk kebudayaan yang sederhana, hingga bentuk-bentuk yang makin lama makin kompleks, yaitu evolusi kebudayaan (cultural evolution). Ada juga proses penyebaran kebudayaan secara geografi, terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi, yaitu proses difusi (diffusion). Proses lain adalah proses belajar unsur-unsur kebudayaan asing oleh warga masyarakat, yaituproses akulturasi (acculturation) dan asimilasi (assimilation). Akhirnya ada proses pembaruan atau inovasi (innovation), yang berkaitan erat dengan penemuan baru (discovery dan invention)[6].
Proses belajar kebudayaan sendiri yaitu proses internalisasi adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hamper meninggal. Individu belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya.dan proses sosialisasi berkaitan dengan proses belajar kebudayaan dakam hubungan dengan sistem sosial. Dalam prose situ seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang mengkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Dan juga proses enkulturasi adalah proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya[7].
Kejadian masyarakat yang positif adalah perubahan kebudayaan (culture change) yang menjelma ke dalam perubahan dan pembaruan dalam adat-istiadat yang kuno. Kejadian masyarakat negative misalnya berbagai ketegangan masyarakat yang menjelma menjadi permusuhan antara golongan, adanya banyak penyakit jiwa, banyaknya peristiwa bunuh diri, kerusakan masyarakat yang menjelma menjadi kejahatan, demoralisasi dan sebagainya[8].
    1. Proses Microscopic dan Macroscopic dalam Evolusi Sosial
Proses evolusi dari suatu masyarakat dan kebudayaan dapat dianalisis oleh seorang peneliti seolah-olah dari dekat secara detail (microscopic), atau dapat juga dipandang seolah-olah dari jauh dengan hanya memperhatikan perubahan-perubahan yang tampak besar saja (macroscopic). Proses evolusi sosial-budaya yang dianalisis secara detail akan membuka mata peneliti untuk berbagai macam proses perubahan yang terjadi dalam dinamika kehidupan sehari-hari tiap masyarakat di dunia. Proses-proses ini disebut dalam ilmu antropologi “proses-proses berulang” (recurrent processes). Proses-proses evolusi sosial budaya yang dipandang seolah-olah dari jauh hanya akan menampakkan kepada peneliti perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Proses-proses ini disebut dalam ilmu antropologi, “proses-proses menentukan arah” (directional processes).[9]
    1. Proses-proses Berulang dalam Evolusi Sosial Budaya
Perhatian terhadap proses-proses berulang dalam evolusi sosial-budaya, belum lama mendapat perhatian dari ilmu antropologi. Perhatian itu sebenarnya timbul bersama dengan perhatian ilmu antropologi terhadap factor individu dalam masyarakat, yaitu sejak masa sekitar 1920.
    1. Proses Mengarah dalam Evolusi Kebudayaan
Evolusi masyarakat dan kebudayaan kita pandang seolah-olah dari suatu jarak yang jauh, dengan mengambil interval waktu yang panjang (misalnya beberapa ribu tahun), maka akan tampak perubahan-perubahan besar yang seolah-olah bersifat menentukan arah (directional) dari sejarah perkembangan masyarakat dan kebudayaan yang bersangkutan[10].

Penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia di muka bumi, turut pula tersebar unsur-unsur kebudayaan dan sejarah dari proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan ke seluruh penjuru dunia yang disebut proses difusi (diffusion).
Penyebaran unsur-unsur kebudayaan dapat juga terjadi tanpa ada perpindahan kelompok-kelompok manusia atau bangsa-bangsa dari satu tempat ke tempat lain, tetapi oleh karena ada individu-individu tertentu yang membawa unsur-unsur kebudayaan itu hingga jauh sekali.
Pokok perhatian dari suatu deskripsi etnografi adalah kebudayaan-kebudayaan dengan corak khas seperti itu. Suatu kebudayaan dengan corak khas adalah “suku bangsa” (bahasa Inggrisnya ethnic group dan secara harfiah “kelompok etnik”).[11]
Istilah “suku bangsa” adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”,sedangkan kesadaran dan identitas tadi sering kali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bangsa juga.[12]
Kesatuan masyarakat suku-suku bangsa di dunia berdasarkan atas kriteria mata pencarian dan system ekonomi ada enam yaitu: masyarakat pemburu dan peramu (hunting and gathering societies) contohnya suku bangsa Eskimo di Kanada, masyarakat peternak (pastoral societies) contohnya suku bangsa Arab Badui di Gurun Semenanjung Arab, masyarakat peladang (societies of shifting cultivators) contohnya pengembaraannya di daerah hutan rimba tropis di daerah perairan, masyarakat nelayan (fishing communities) contohnya masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai atau laut, masyarakat petani pedesaan (peasant communities), dan masyarakat perkotaan kompleks (complex urban societies).[13]
Suatu “daerah kebudayaan” (culture area) merupakan suatu penggabungan atau pengolongan (yang dilakukan oleh ahli-ahli antropologi) dari suku-suku bangsa yang beragam kebudayaannya, tetapi mempunyai beberapa unsur dan ciri mencolok yang serupa.[14]
Unsur kebudayaan fisik (misalnya alat-alat berburu, alat-alat bertani, alat-alat transportasi, senjata, bentuk-bentuk ornamen perhiasan, bentuk-bentuk dan gaya pakaian, bentuk-bentuk tempat kediaman dan sebagainya), tetapi juga unsur-unsur kebudayaan yang lebih abstrak dari sistem sosial atau sistem budaya (misalnya unsur-unsur organisasi kemasyarakatan, sistem perekonomian, upacara-upacara keagamaan, unsur cara berpikir, dan adat-istiadat).[15]





DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi II, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005)
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009)


[1] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi II, Rineka Cipta, h.11
[2] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi II, Rineka Cipta, h.13
[3] Kata Arab musyaraka, berarti “saling bergaul”. Adapun kata Arab untuk “masyarakat” adalah mujtama.
[4] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, h.110
[5] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, h.111
[6] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, h.184
[7] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, h.189
[8] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, h.191


[9] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, h.191
[10] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, h.194
[11] Terjemahanya dan Istilah “golongan etnik” yang dipakai
[12] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, h.215
[13] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, h.217
[14] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, h.221
[15] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, h.222
Theme images by loops7. Powered by Blogger.