Yang Tertutur (Manthuq) Dan Yang Terpahami (Mafhum) Dalam Penafsiran Al-Quran
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap kali
kita menemukan ayat Al-Qur’an yang bersifat umum dan memerlukan penjelasan
lebih lanjut, maka kita akan menemukan penjelasannya pada ayat lain, baik yang
bersifat membatasi atau memperjelas secara terperinci. Atas dasar inilah
kemudian para ulama berusaha untuk menetapkan term-term yang dengan khusus menunjukkan
cirin-cirinya, seperti; ‘Am dan Khash, Muthlaq dan Muqayyad,
Mujmal dan Mufashal, Manthuq dan Mafhum, dan lain sebagianya.
Para ulama
ketika mengkaji tentang term manthuq dan mafhum ini, mereka
melihatnya dari berbagai cara pandang yang berbeda-beda. Diantara mereka ada
yang melihatnya dari sudut tasyri (ketetapan hokum agama), seperti yang
dilakukan para ahli ilmu ushul fiqh. Ada pula yang mempelajarinya atas
dasar prinsip logika, seperti yang dilakukan oleh para ahli ilmu kalam (teolog
muslim). Dan ada pula yang mempelajarinya dari sudut pandang bahasa dan sastra,
seperti yang dilakukan oleh para ahli tafsir. Oleh karena itu, pembahasan
terhadapa manthuq dan mafhum ini sangatlah penting, sebab kedua hal ini yang
akan merinci berbagai kandungan maksud ayat-ayat Al-Qur’an.
Pada makalah
ini, penulis akan mengkajinya dari segi bahasa dan sastra, seperti yang
dilakukan oleh para mufassir. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahawa
pembahasan ini akan menyentuh pada aspek tasyri’, agar memperoleh
pemahaman manthuq dan mafhum dengan baik.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian manthuq dan mafhum.?
2.
Apa
sajakah jenis-jenis manthuq dan mafhum.?
3.
Bagaimana
argument para ulama tentang mafhum sebagai hujjah.?
4.
Apa
saja syarat-syarat mafhum.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Mantuq
(Tertutur)
1.
Pengertian
Mantuq
Secara terminology منطوق berasal dari kata نطق yang
artinya berkata, berbicara, berucap, atau bertutur. Sedangkan منطوق adalah isim maf’ul maka artinya tertutur atau
terucap. Dan isim mashdarnya نطق yakni ucapan atau
perkataan.[1]
Sedangkan menurut terminology Imam As-Suyuthi mengatakan;
artinya;
“sesuatu (makna) yang ditunjukan oleh lafadz pada tempat pembicaraan”.
Sedangkan
menurut Muhammad Khudhari adalah;
artinya; “pengertian lafadz pada tempat pembicaraan”.
Dengan kata lain, pengucapan lafadz itu sendirilah yang memberi
jalan bagi kita untuk dapat mengerti maksud kandunganya, sehingga tidak ada
makna lain kecuali apa yang terdapat dari teks itu. Jadi, manthuq adalah
suatu makna yang ditunjukan oleh lafadz menurut ucapanya, atau dengan kata lain makna
yang tersurat.
2.
Jenis
– Jenis Manthuq
Menurut Imam As-Suyuthi term manthuq memiliki empat jenis,
yaitu;
1.
Nash, suatu perkataan yang jelas dan tegas serta tidak mungkin
mengandung makna lain, misalnya firman Allah SWT:
فَمَنْ
لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ
تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
Artinya: “tetapi jika ia tidak
menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari
dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah
sepuluh (hari) yang sempurna.” (Al-Baqarah: 196)
Lafaz عشرة كاملة pada ayat tersebut merupakan nash,
karena kalimat tersebut tidak mengandung makna selain sepuluh hari lengkap
sebagaimana yang telah dinashkan dalam ayat tersebut. Menurut kelompok ahli
ilmu kalam bahwa nash itu sangat jarang sekali ditemukan baik di dalam
Al-Qur’an atau Hadits
2.
Zhahir, lafaz yang menunjukan suatu makna dengan masih mengandung makna
lemah yang lainya, maksudnya adalah suatu perkataan yang menunjukkan suatu
makna, tetapi makna tersebut dapat ditakwilkan dengan makna lainya yang lebih
tepat karena adanya suatu dalil. Dengan kata lain bahwa zahir itu sama
dengan nash dalam hal penunjukanya kepada makna yang didasarkan pada
ucapan. Jika nash hanya menunjukan satu makna dan tidak ada kemungkinan
makna lain, maka zhahir disamping menunjuka satu makna ketika diucapkan
juga disertai makna lain meskipun maknanya lemah (marjuh). Misalnya
firman Allah SWT:
فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ
رَّحِيْمٌ
Artinya: “Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakanya)
sedang dia tidak menginginkanya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada
dosa baginya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”.
(Al-Baqarah: 173)
Lafaz باغ pada ayat tersebut
mempunyai dua kemungkinan, pertama orang yang
tidak mengerti (al-jahl), dalam hal ini sebagai makna marjuh
(lemah), dan kedua orang yang berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri (al-zhalim),
dalam hal ini sebagai makna yang rajih. Dan makna yang terakhir inilah
yang lebih jelas dan lebih sering digunakan daripada makna yang pertama.
3.
Mu’awwal, lafaz yang diartikan dengan makna marjuh karena ada suatu dalil
yang menghalangi maksud makna rajih, maksudnya adalah suatu perkataan
yang memiliki makna ganda, dimana makna yang ditakwilkan (marjuh) lebih
kuat dibandingkan dengan makna yang rajih (zhahir). Perbedaanya
dengan jenis yang kedua adalah jika zhahir diartikan dengan makna yang rajih,
karena tidak adanya dalil yang memalingkanya kepada makna yang marjuh,
maka mu’awwal diartikan dengan makna yang marjuh. Sebab adanya
dalil yang mengharuskan lafaz tersebut diartikan dengan makna yang marjuh.
Misalnya firman Allah SWT:
وَهُوَ
مَعَكُمْ اَيْنَمَا كُنْتُمْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Artinya: “Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Al-Hadid: 4)
Ayat diatas apabila diartikan menurut zhahirnya adalah tidak
mungkin. Sebeb mengartikan kata “bersama” dengan kebersamaan Dzat
sangatlah mustahil. Maka harus dialihkan makna itu kepada makna kekuasaan,
pengetahuan, pemeliharaan dan penjagaan.[4]
4.
Ghumud (samar pengertianya), suatu perkataan yang memiliki dua makna baik
makna secara hakiki atau majazi (kiasan) dan dapat ditafsirkan kepada
keduanya secara bersama serta tidak saling bertentangan. Namun keduanya masih
sulit untuk ditentukan dengan pasti mana yang lebih rajih, untuk jenis
yang ini oleh para ulama baiasa disebut dengan term mujmal. misalnya
firman Allah SWT;
وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيْدٌ
وَإِنْ تَفْعَلُوْا فَإِنَّهُ فُسُوْقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوْا اللهَ وَيُعَلِّمُكُمُ
اللهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
Artinya: “…dan janganlah penulis dan saksi saling
sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu
adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah
mengajarimu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Al-Baqarah: 282)
Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa mungkin makna yang dikehendaki
adalah penulis dan saksi itu hendaknya tidak mempersulit pemilik harta dengan
melakukan kecurangan pada penulisan dan persaksian. Dan mungkin juga makna yang
dikehendaki adalah لايضارر ,
maksudnya adalah janganlah pemilik harta itu mempersulit keduanya dengan
memaksa mereka berdua untuk menjadi penulis dan saksi. Yakni dengan cara
menginterfensi agar menulis dan memberikan kesaksian menurut kehendaknya.[5]
Keempat jenis tersebut didasarkan pada pola pentahapan dari konsep al-wudhuh
(kejalasan) menuju konsep al-ghumud (kesamaran). Nash sebagai suatu
perkataan yang jelas lagi sempurna yang hanya mengandung satu makna berhadapan
dengan mujmal yang mengandung dua makna, di mana kedua makna tersebut
masih sulit untuk ditentukan mana yang lebih tepat untuknya. Sedangkan zhahir
lebih dekat kepada nash dari segi makna yang rajih. Sementara itu
al-mu’awwal lebih dekat kepada yang mujmal bahwa makna yang rajih
adalah makna yang jauh. Ini artinya bahwa antara wudhuh dan ghumud yang diantara keduanya
terdapat nash dan mujmal, terdapat wilayah tengah yang menjadi
titik temu antara keduanya, yaitu zhahir dan mu’awwal. Di dalam
klasifikasi ini terdapat term al-muhkam yang berada di titik tengah
anatara nash dan zhahir. Sedangkan term mutasyabih berada
pada wilayah anatara mu’awwal dan
mujmal.[6]
Kalau dibuat diagram seperti dibawah ini;
المنطوق
الوضوح الغموض
الظاهر النص المؤول المجمل
المحكم المتشابه
Sedangkan menurut ulama Ushul Figh, manthuq dibagi kepada صريح (jelas) dan غير صريح
(tidak jelas). Sharih adalah makna yang secara tegas ditunjukan oleh suatu
lafaz sesuai dengan teks baik secara penuh atau makna yang dikandung oleh teks.
Term ini juga dinamai dengan ‘Ibarat an-Nash oleh kalangan Hanafiyah.[7]
Contohnya firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 275;
وَأَحَلَّ
اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
Artinya; “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Teks diatas mengandung dua makna.
Pertama, hokum jual beli merupakan sesuatu yang halal, sementara praktik riba
adalah haram. Kedua, jual beli berbeda dengan riba, makna inilah maksud pertama
dari teks yang dipahami dari konteksnya, karena teks tersebut dalam konteks
bantahan terhadap kaum musyrik yang beranggapan bahwa riba sama seperti jual
beli.[8]
Adapun manthuq ghairu sharih
adalah pengertian yang diambil bukan dari makna asli suatu lafaz, namun makna
itu tidak bisa dipisahkan atau sebagai konsekuensi dari suatu ucapan. Term ini
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu;
a. Dilalat al-Ima’, disebut Dilalat al-Tanbih yakni teks yang dibarengi dengan
lafaz tertentu. Maksudnya adalah suatu pengertian yang bukan ditunjukan
langsung oleh suatu lafaz, tetapi melalui pengertian logisnya karena
menyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa. Misalnya
Hadits Rasulullah SAW:
عَنْ
جَابِرِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: مَنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ (رواه البخاري و الترمذي)[9]
Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah
dari Nabi SAW bersabda; Barang siapa yang menghidupkan (mulai mengolah) tanah
yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Bukhari dan
Turmudzi).
Hadits tersebut di samping
menunjukan hokum melalui manthuq-nya seperti yang jelas tertulis, juga
melalui dalalat ai-ima’nya. Yaitu bahawa aktifitas menghidupkan tanah
mati itulah yang menjadi ‘illat bagi pemilik tanah untuknya.[10]
b. Dilalat al-Isyarat, makna yang ditunjukan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian
aslinya, tetapi memiliki hubungan kelaziman dengan konteks urainya. Misalnya
firman Allah SWT;
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ
الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu
pada malam puasa berhubungan (jima’) dengan istri-istri kamu”. (Al-Baqarah:
187)
Dilalah ayat ini menunjukan sahnya puasa seseorang pada waktu subuh masih
dalam keadaan junub. Karena kebolehan melakukan jima’ sampai terbitnya
fajar menunjukan bahwa dia dalam keadaan junub pada satu bagian dari siang
hari.[11]
c. Dilalat al-Iqtidha’ pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman)
pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecuali dengan
adanya penyisipan itu. Misalnya firman AllahSWT;
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ
الَّتِيْ كُنَّا فِيْهَا
Artinya; “Dan tanyalah negeri
yang kami berada di situ”. (Yusuf: 82
Dalam redaksi ayat tersebut perlu
disisipkan kata ‘penduduk’ sehingga kalimat itu bermakna ‘dan tanyalah penduduk
negeri’.[12]
B.
Mafhum
(Terpahami)
1.
Pengertian
Mafhum
Secara
terminology مفهوم berasal dari kata فهم yang artinya memahami, mengerti dan
mengetahui. Sedangkan مفهوم adalah isim maf’ul maka artinya terpahami.
Dan isim mashdarnya فهم yakni paham atau
tahu.[13]
Sedangkan menurut terminology Imam As-Suyuthi mengatakan;
مَادَلَّ
عَلَيْهِ الَّلفْظُ لَا فِى مَحَلِّ النُّطْقِ[14]
Artinya;
“Suatu makna yang ditunjukan oleh suatu lafaz tidak pada tempat pembicaraan”.
Atau dalam pengertian lain mafhum adalah suatu makna yang
tidak disebut oleh lafaz itu sendiri, melainkan datang dari pemahaman.[15]
2.
Jenis
– Jenis Mafhum
Term mafhum ini secara garis besar dapat dibagi menjadi dua,[16]
yaitu;
a.
mafhum
muwafaqah adalah jika makna yang dipahamkan
sama dengan makna yang ditunjukan oleh bunyi lafaz. Term ini dapat
diklasifikasikan menjadi dua katagori, yaitu;
1)
fahwa al-khithab, yakni
apabila makna yang dipahami hukumnya lebih utama dari pada yang diucapkan.
Misalnya firman Allah SWT;
فَلَا
تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
Artinya;
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.
(Al-Isra: 23)
Maksud ayat diatas adalah larangan mengucapkan kata ‘ah’ kepada
kedua orang tua, namun kalimat tersebut juga bermakna mencaci maki atau memukul
keduanya, karena mencaci maki dan memumukul lebih terlarang ketimbang
mengucapkan ‘ah’. Maka yang kedua inilah yang dimaksud dengan lahwa
al-khithab.
2)
Lahn al-khithab yakni
apabila hokum mafhum sama nilainya dengan hokum manthuq. Misalnya
firman Allah SWT;
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ
أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنّمَاَ يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًا
Artinya;
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya itu menelan api sepenuh perutnya”. (An-Nisa: 10)
Ayat diatas menjelaskan tentang keharaman memakan harta anak yatim
dengan cara zalim. Bahwa substansi yang hendak dicapai oleh ayat diatas
adalah keharaman melenyapkan harta anak yatim, baik dengan cara memakanya,
maupun dengan cara yang lainya, yaitu menyia-nyiakan dengan cara merusaknya
ataupun membakarnya. Makna yang tersurat dan yang tersirat memiliki konsekuensi
hokum yang sama.
b.
mafhum
mukhalafah adalah jika makna yang dipahamkan
berbeda dengan makna yang diucapkan. Term ini dapat dibagi menjadi empat macam,[17]
yaitu;
1). Mafhum
Shifat (sifat), jenis term ini sangat banyak ragamnya. Ia tidak hanya
terbatas pada sifatnya saja, tetapi masuk didalamnya setiap makna yang
menunjukan sifat, seperti; hal, zaman, makan, dan adad. Misalnya
firman Allah SWT;
a)
shifat, (sifat) يَاأَيُّهَا
الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوْا
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti”. (Al-Hujarat: 6)
Ayat di atas
kalau dipahami bahwa berita yang dibawa oleh orang yang fasik (pendusta) harus
diteliti secara seksama. Sehingga mafhum mukhalafahnya adalah apabila
berita itu dibawa oleh orang yang adil, jujur dan bukan pendusta, maka harus
diterima dengan perasangka baik. Atas dasar inilah sehingga para ulama
berkesimpulan bahwa berita hadits yang dibawa oleh seorang yang bersifat adil,
jujur dan pantang berdusta wajib diterima
b)
Hal (keadaan), يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ
أَمَنُوْالَاتَقْرَبُوْاالصَلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُ مَاتَقُوْلُوْنَ
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan”. (An-Nisa: 43)
Ayat di atas
menjelaskan bawha tidak diperbolehkan menjalankan shalat karena keadaanya
sedang mabuk. Maka mafhum mukhalafahnya adalah diperbolehkan mengerjakan
shalat bagi orang yang dalam keadaan mabuk.
c)
Zaman (waktu), الحَجُّ أَشْهُرٌ
مَّعْلُوْمَات
Artinya; “(musim) Haji adalah
beberapa bulan yang dimaklumi”. (Al-Baqarah: 197)
Ayat diatas
dapat dipahami bahwa terdapat bulan-bulan tertentu bagi orang yang menunaikan
ibadah haji. Maka mafhum mukhalafahnya adalah ihram selain dalam
bulan-bulan yang ditetapkan tidaklah sah.
d)
Makan (tempat), فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ
عَرَفَاتٍ فَذْكُرُوْا اللهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ
Artinya: “Maka apabila kamu telah
bertolak dari ‘Arafah, berzikirlah kepada Allah di May’arilharam”.
(al-Baqarah: 198)
Ayat tersebut
bisa dipahami bahwa berzikir pada tempat selainya tidak dapat dikatakan telah
melaksanakan perintah.
e)
‘Adad
(bilangan)
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ
ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً
Artinya: “Dan orang-orang menuduh
wanita-wanita baik-baik (berbuta zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka derahlah mereka (yang menuduh) delepan puluh kali”.
(An-Nur: 4)
Mafhum
mukhalafahnya adalah apabila mereka tidak bisa
mendatangkan empat orang saksi maka dia harus didera delapan puluh kali, tidak
boleh kurang dan tidak boleh lebih.
2). Mafhum
Syarat, yaitu menetapkan lawan hukum bagi sesuatu yang tidak disebutkan di
dalam nash dari hukum yang disebutkan dalam nash dan dibatasi
dengan syarat, miasalnya firman Allah SWT;
وَاِنْ
كُنَّ أُوْلَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya: “Dan jika mereka
(istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan”. (Ath-Thalaq: 6). Maksudnya
adalah bagi mereka yang tidak hamil, maka tidak wajib memberikan nafkah kepada
mereka
3). Mafhum Ghayah, yaitu
menetapkan lawan hukum bagi sesuatu yang tidak disebutkan dalam nash
dengan melalui ghayah (tujuan akhir) yang terdapat pada manthuq bih,
misalnya firman Allah SWT;
فَإِنْ
طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرُهُ
Artinya: “Kemudian jika suami menalaknya
(sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia
kawin lagi dengan suami yang lain”. (Al-Baqarah: 230). Maksudnya adalah
jika dia melakukan hal itu, maka wanita itu halal kembali untuk suaminya yang
pertama.
4). Mafhum Hashr, yaitu
menetapkan lawan hukum yang tidak disebutkan di dalam nash dengan melalui hasyr
(pembatasan), misalnya firman Allah SWT;
فَا اللهُ هُوَ الْوَلِيُّ Artinya; “Maka
Allah, Dialah Pelindung (yang sebenarnya)”. (Asy-Syura: 9).
Maksudnya adalah selain-Nya bukanlah pelindung.
3.
Mafhum Sebagai
Argument Tasyri’
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujahan mafhum mukhalafah
sebagai dasar untuk menetapkan suatu hukum. Ulama Hanafiyah tidak memandang mafhum
mukhalafah sebagai salah satu metode penafsiran nash-nash syara’ sebab akan
rusak pengertianya.[18]
Namun menurut pendapat yang paling shahih bahwa mafhum-mafhum tersebut boleh
dijadikan sebagai hujjah apabila memenuhi beberapa syarat. Menurut pendapat
Muhtar Yahya dan Fathurrahman sebagai mana yang dikutip Nor Ichwan sedikitnya
ada lima syarat agar mafhum mukhalafah dapat dijadikan argument di dalam
menetapkan hukum syara’ diantaranya.[19]
a.
Tidak
berlawanan dengan dalil yang lebih kuat.
b.
Bukan
dimaksudkan untuk memberi batasan dengan sifat tertentu.
c.
Tidak
dimaksudkan untuk penghormatan atau menguatkan suatu keadaan.
d.
Harus
berdiri sendiri tidak boleh mengikuti yang lain.
e.
Bukan
sekedar menerangkan kebiasaan.
BAB
III
PENUTUP
Manthuq menurut
etimologi adalah tertutur sedangkan menurut terminology adalah suatu makna yang
ditunjukan oleh lafaz pada tempat pembicaran, atau dengan makna lain adalah
yang tersurat. Adapun mafhum secara etimologi adalah terpahami, dan
secara terminology adalah suatu makna yang ditunjukan oleh lafaz bukan pada
tempat pembicaraan, atau dengan makna lain adalah yang tersirat.
Menurut imam As-Suyuthi manthuq ada empat macam. Yaitu, nash,
zhahir, muawwal dan ghumud. Sedangkan menurut ulama ushul figh,
manthuq dibagi dua, yakni sharih dan ghairu sharih.
Manthuq ghairu sharih ada tiga jenis. Yaitu, dilalat
ima’, dilalat syarath dan dilalat iqtidha’. Adapaun mafhum
dibagi menjadi dua. Yakni, mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
Mafhum muwafaqah ada dua jenis, fahwa khithab dan lahn khitab.
Sedangkan mafhum ghairu sharih ada empat macam. Yakni. mafhum shifat,
mafhum syarath, mafhum ghayah, dan mafhum hashr.
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujahan mafhum mukhalafah
sebagai dasar untuk menetapkan suatu hukum. Namun menurut pendapat yang paling
shahih bahwa mafhum-mafhum tersebut boleh dijadikan sebagai hujjah
apabila memenuhi beberapa syarat. Seperti;
a.
Tidak
berlawanan dengan dalil yang lebih kuat.
b.
Bukan
dimaksudkan untuk memberi batasan dengan sifat tertentu.
c.
Tidak
dimaksudkan untuk penghormatan atau menguatkan suatu keadaan.
d.
Harus
berdiri sendiri tidak boleh mengikuti yang lain.
e.
Bukan
sekedar menerangkan kebiasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qathan.
Manna’, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr
al-Hadits, 1990
Al-Sanadi. Muhammad
bin Abd al-Hadi, Shahih Al-Bukhari, Lebanon: Dar Al-Kitab Al-Ilmiah,
2013
Al-Turmudzi.
Muhammad bin ‘Isa, Sunan Al-Turmuzdi,
Lebanon: Dar al-Fikr al-‘Ilmiah, 2011
As-Suyuthi.
Jalaluddin Abdurrahman, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Beirut: Dar Al-Fikri,
1951
Atabik dan
Ahmad zuhdi Muhdhar, Kamus Al-‘Ashri, Krapyak: Multi Karya
Grafika, 1999
Efendi. Satria,
dk. Ushul al-Figh, Jakarta: Kencana, 2005
Hakim. Abdul
Hamid, al-Sulam, Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Putra, 2008
__________________,
Mabadiy Awaliyah, Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Putra, 1928
Karim.
Abdullah, Ilmu Tafsir Imam As-Suyuthi, Banjarmasin: Haga Jaya Offset,
2004
Khudhari. M,
Ushul al-Figh, Mesir: Dar al-Hadits, 2003
Nor Ichwan.
Muhammad, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Refleksi atas Persoalan Linguistik,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Quraisy. M.
Shihab, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013
Rahmat.
Syafi’I, ilmu Ushul Figh, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Shubhi
Al-Shalih, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin,
1988
[1]
Atabik dan Ahmad zuhdi Muhdhar, Kamus Al-‘Ashri, (Krapyak:
Multi Karya Grafika, 1999), hal. 1921
[2]
Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut:
Dar Al-Fikri, 1951), juz. 2, hal. 31. Definisi diatas juga dikutip oleh Manna’
Al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr
al-Hadits, 1990), hal. 250. Dan Shubhi Al-Shalih, Mabahits fi ‘Ulum
Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1988), hal. 300. Dan abdul
Hamid Hakim, al-Sulam, (Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Putra, 2008),
hal. 33. Dan Mabadiy Awaliyah, (Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Putra, 1928),
hal. 14.
[3]
M. Khudhari, Ushul al-Figh, (Mesir: Dar al-Hadits, 2003), hal. 122
[4]
As-Suythiy, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, hal. 32. Dan Manna’ al-Qqthan, Mabahits
fi Ulum Al-Qur’an, 250-251. Dan Subhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum
Al-Qur’an, hal. 300-301. Dan Muhammad Nor Ichwan, Memahami Bahasa
Al-Qur’an, (Refleksi atas Persoalan Linguistik), (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hal. 129-133
[5]
As-Suyuthi, Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an, hal. 32. Dan Muhammad Nor
Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, hal. 133-134
[6]
Muhammad Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, hal. 131
[7]
M. Khudhari, Ushul al-Figh, hal. 120, dan Satria Efendi, dk. Ushul
al-Figh, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 211
[8]
M. Khudhari, Ushul al-Figh, hal. 120, dan M. Quraisy Shihab, Kaidah
Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hal. 169
[9]
Muhammad bin Abd al-Hadi al-Sanadi, Shahih Al-Bukhari, (Lebanon: Dar
Al-Kitab Al-Ilmiah, 2013), edisi. 7, jilid. 2, hal. 90, dalam kitab al-hartsu
wa al-mazari’. Dan Muhammad bin ‘Isa al-Turmudzi, Sunan Al-Turmuzdi, (Lebanon: Dar
al-Fikr al-‘Ilmiah, 2011), edisi. 3,
jilid. 2, hal. 364, dalam kitab al-ahkam.
[10]
M. Quraisy Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 172. Dan lihat juga Satria
Efendi, dk, Ushul Figh, hal. 211-212.
[11]
As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, hal. 32. Dan lihat Manna’
al-Qathan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, hal. 252. Dan Satria Efendi, dk, Ushul
Figh, hal. 212. Dan Muhammad Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an,
hal. 135.
[12]
Ibid.
[13]
Atabik dan Ahmad zuhdi Muhdhar, Kamus Al-‘Ashri, hal. 1409.
[14]
Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, hal. 32.
Definisi diatas juga dikutip oleh Manna’ Al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulum
Al-Qur’an, hal. 252. Dan Shubhi Al-Shalih, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an,
hal. 301. Dan abdul Hamid Hakim, al-Sulam, hal. 33. Dan Mabadiy
Awaliyah, hal. 14.
[15]
Syafi’I Rahmat, ilmu Ushul Figh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 215.
[16]
As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, hal. 32. Lihat juga Manna’
Al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, hal. 253. Dan Shubhi Al-Shalih, Mabahits
fi ‘Ulum Al-Qur’an, hal. 301. Dan abdul Hamid Hakim, al-Sulam, hal.
33. Dan Mabadiy Awaliyah, hal. 14. Muhammad Nor Ichwan, Memahami
Bahasa Al-Qur’an, hal 136. Syafi’I Rahmat, Ushul Figh, hal. 216.
Abdullah Karim, Ilmu Tafsir Imam As-Suyuthi, (Banjarmasin: Haga Jaya
Offset, 2004), hal. 76.
[17]
As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, hal. 32. Lihat juga Manna’
Al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, hal. 253. Dan Shubhi Al-Shalih, Mabahits
fi ‘Ulum Al-Qur’an, hal. 301. Dan abdul Hamid Hakim, al-Sulam, hal.
33. Dan Mabadiy Awaliyah, hal. 14. Muhammad Nor Ichwan, Memahami
Bahasa Al-Qur’an, hal 136. M. Quraisy Shihab, Kaidah Tafsir,
hal.173-177
[18]
Syafe’I Rahmat, Ilmu Ushulul Figh, hal.217
[19]
Muhammad Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, hal. 143-145